Pelaksanaan Ekonomi Islam Dalam Perkembangan Ekonomi Yang Dewasa Ini

Pelaksanaan Ekonomi Islam

Dalam Perkembangan Ekonomi Dewasa Ini

Kelompok : Teller
Ketua : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi
Anggota :
– Annisa Fitria
– M. Zain Syihab Lubis
Semester : I PS ( Unggulan )

images

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

Paradigma Islam Dan Negara

Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat Islam secara parsial dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata dan menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan dunia Ekonomi seperti perbankan, pasar modal, asuransi, transaksi eksport import, dll. Bahkan mereka beranggapan bahwa Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai penghambat perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan ketentuan Ilahi.
Banyak tanggapan orang bahwa Islam hanya berhubungan dengan kehidupan spiritual, tanpa sangkut paut sama sekali dengan masyarakat dan negara. Mungkin sama jauhnya dari kenyataan dengan menyatakan bahwa Islam telah memberikan sebuah sistem sosial, ekonomi dan politik yang menyeluruh dan terperinci. Masalah hubungan politik antara Islam dan negara, sudah sangat lama menjadi perdebatan yang menghangat di kalangan pemikir Islam maupun orientalis. Hal ini terjadi karena memang penjelasan Islam melalui sumber hukumnya maupun fakta historis Islam memungkinkan munculnya multi interpretasi terhadap hubungan Islam dan negara, terlebih lagi bila melihat kondisi riil, beragamnya corak dan bentuk negara, di wilayah-wilayah (negara-negara) yang mayoritas penduduknya beragama Islam (negara muslim) sepertinegara Indonesia. Para pemikir muslim senantiasa berupaya menjawab tantangan zaman dengan Islam, karena Islam dinyatakan sebagai agama yang salihun likulli zaman wa likulli makan (relevan untuk segala masa dan tempat).
Cara pandang di atas bisa dikatakan sempit dan belum melihat Islam secara “kaffah”. Islam adalah agama yang universal, bagi mereka yang dapat memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila didasari oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam penerapannya pada segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat. Sistem Perekonomian Islam bersifat universal artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan norma-norma islami.
Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan landasan yuridis yang lengkap dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi antara lain: – Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan lebih sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya : 107). – Harta adalah amanat Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus sesuai dengan ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28). – Larangan menjalankan usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281). – Larangan merugikan orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183). – Kesaksian dalam mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.
Anggapan tersebut telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan dibanggakan selama ini khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu untuk menanggulangi dan mengatasi kondisi yang ada, bahkan terkesan sistem yang ada saat ini dengan tidak adanya nilai-nilai Islami yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya “perampok berdasi ( koruptor )” yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia sendiri.
Relasi Islam dan negara, dalam kajian politik Islam klasik maupun modern, terdapat tiga paradigma, yaitu :
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik mengajukan konsep bersatunya agama dan negara. Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara. Dalam pandangan ini, agama Islam adalah agama yang sangat sempurna dan lengkap dengan mengatur segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut paham ini berpendirian, bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap termasuk sistem ketatanegaraan atau politik dan sistem ketatanegaraan yang islami dan harus diteladani adalah sistem yang dilaksanakan Nabi Muhammad Saw dan al-Khulafa’ al-Rasyidun. Tokoh paham ini adalah di antaranya Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, M. Rasyid Ridha, dan Maulana al-Maududi. Paradigma ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh keinginan untuk menerapkan Syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara. Model formal ini mempunyai potensi untuk berbenturan dengan sistem politik modern.
2. Paradigma Sekuleristik
Sekuleristik menyatakan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini, Muhammad SAW hanyalah seorang Rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Nabi Muhammad tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu negara. Tokoh-tokoh paham ini antara lain, Ali Abdur Raziq dan Taha Husein. paradigma kedua ini merefleksikan kekaguman sebagian umat Islam terhadap bangunan peradaban politik yang dibangun Barat, dengan mengesampingkan penelusuran terhadap sejarah Islam. Paradigma ini dianggap mencerabut akar keislaman yang fundamental, sehingga paradigma ini mendapatkan resistensi yang cukup hebat dari kalangan Islam sendiri, bahkan pencetus paradigma ini dianggap sudah keluar dari Islam. Kendatipun begitu paradigma ini tetap mendapatkan simpati dari sebagian umat Islam.
3. Paradigma Simbiotik
Simbiotik mengajukan pandangan bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang dengan pesat. Sebaliknya negara membutuhkan agama karena dengan agama, negara dapat melangkah dalam bimbingan etika dan moral. Paradigma ini dikemukakan oleh al-Mawardi dan al-Ghazali. Jika ditarik dalam konteks kebebasan dan demokrasi berpikir, ketiga paradigma tersebut sah dan diakui eksistensinya. Paradigma ketiga ini menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan pada nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi, yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam), kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara bangsa (nation state) merupakan salah satu unsur utamanya.
Bahkan masing-masing paradigma ada pengikutnya. Akan tetapi dalam kerangka studi dan kajian, ketiga paradigma tersebut perlu diuji kedekatannya dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Dari apa yang telah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya tradisi pemikir politik islam itu sangat kaya, beraneka ragam, dan lentur. Lalu pertanyaan nya adalah :
– Jenis paradigma yang manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam dan negara bangsa di Indonesia?
Dalam konteks politik ekonomi Islam sebagai upaya pembumian ekonomi Islam dalam perekonomian Indonesia, di antara tiga paradigma hubungan Islam dan negara tersebut di atas, paradigma ketigalah yang paling memungkinkan untuk tumbuh dan berkembangnya politik ekonomi Islam dalam struktur perekonomian nasional Indonesia yang berbasiskan nilai dan ajaran Islam dengan semangat spiritual dan transendental.

Perkembangan Ekonomi Islam

Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam, berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain, lahir karena dua faktor;
1. Berasal dari ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sedekah.
2. Timbulnya surplus dan yang disebut petro-dollar dari negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dari Timur Tengah dan negara-negara Islam. Adalah suatu kebetulan, bahwa lading-ladang minyak terbesar di dunia dewasa ini berada di negara-negara Muslim.
Sebenarnya kesadaran tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke 20. Tapi gagasan tersebut hanya melahirkan satu dua bank kecil yang tidak berdasarkan bunga. Sebabnya mudah dipahami, yaitu karena tiada nya modal finansial yang mencukupi yang dimiliki kaum Muslim. Pada waktu itu juga sudah disadari adanya doktrin sedekah atau zakat dan K.H. Ahmad Dahlan sudah punya gagasan untuk membentuk lembaga amil (penghimpun dan pengelola) zakat. Tapi dana yang berhasil dikumpulkan itu dibutuhkan langsung untuk dakwah dan penyantunan fakir miskin. Karena itu belum ada gagasan untuk menjadikan dana zakat sebagai modal bank. Namun bank tersebut tidak lama umurnya karena berhenti beroperasi pada tahun 1976.
Dewasa ini, menurut International Association for Islamic Bank, jumlah bank-bank Islam di seluruh Dunia Islam, yang mencakup 40 negara-negara Muslim maupun non-Muslim sudah lebih dari 200 unit, padahal pada tahun 1986 baru berjumlah 35 unit, dengan aset sebesar US$200,- miliar, di antaranya deposito sebesar US$ 80,- miliar. Di antara bank-bank itu muncul kelompok trans-national group, yaitu Dar al Mal al Islami dan al-Baraka-Dallah Group. Satu di antaranya adalah Islamic Development Bank (IDB), yang sahamnya dimiliki oleh negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam). Setiap negara Muslim punya hak untuk meminta bantuan dana dari IDB ini, di antaranya Indonesia telah memperoleh dana melalui BMI yang memperoleh modal sehingga IDB ikut memiliki 35% saham BMI dan baru-baru ini BMI juga memperoleh dana tambahan sebesar US$ 100,- juta guna memperkuat permodalannya. Selain itu, Reksadana Syariah yang dulu dipimpin oleh Iwan Poncowinoto, telah memperoleh pinjaman sebesar US$ 100,- miliar dan telah berhasil dikembalikan. Tapi secara umum Indonesia belum memanfaatkannya secara maksimal.
Dari perjalanan perbankan dan lembaga keuangan Islam itu dapat ditarik keterangan, bahwa, perekonomian Islam yang selama ini berkembang dimulai modal fisik (physical capital) atau modal alam (natural capital), khususnya yang berasal dari minyak bumi. Dari hasil surplus ekspor minyak bumi ini terbentuk modal financial (financial capital). Namun hingga sekarang pun belum muncul gagasan untuk membangun usaha kecil dan menengah (UKM) di Dunia Islam. Namun di Indonesia, bank-bank syariah, khususnya BMI, telah mengarahkan 70% dananya untuk membiayai usaha UKM.
Demikian pula lembaga-lembaga perbankan syariah baru seperti Bank Syariah Mandiri (BSM), BNI-Syariah dan Bank IFI-Syariah, telah mengarahkan sebagian besar dananya untuk UKM. Perkembangan penting dan khas perbankan syariah di Indonesia adalah berkembangnya Bait al Maal wa al Tamwil dan Bait al Tamwil Muhammadiyah. Jumlahnya sekarang sudah mendekati angka 4.000 unit dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang jumlahnya sekitar 86 unit. Lembaga ini merupakan bentuk lembaga keuangan mikro yang sangat sukses. Walaupun tidak diakui sebagai bank, namun lembaga BMT-BTM ini telah menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang mengelola dana dari, untuk dan oleh masyarakat. Dengan perkataan lain BMT-BTM merupakan perwujudan demokrasi ekonomi. Apalagi sebagian besar BMT-BTM berbadan hukum koperasi yang merupakan badan usaha yang berdasarkan asas kekeluargaan yang sesuai dengan Islam. Namun lembaga keuangan mikro ini masih tetap kekurangan dana dibanding dengan kebutuhan dana masyarakat.
Salah satu ciri khas lembaga keuangan Islam adalah kaitannya yang erat dengan sektor riil, sebab dalam sistem non-ribawi, penghasilan lembaga keuangan tergantung dari keuntungan, terutama yang bersumber dari nilai-tambah yang diciptakan oleh sektor riil, khususnya pertanian dan industri. Karena itu, maka pertumbuhan perbankan syariah dan lembaga keuangan mikro syariah perlu ditunjang dengan pengembangan bisnis.
Indonesia dan Dunia Islam dewasa ini baru dalam taraf memperhatikan modal manusia yang unsur utamanya adalah pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill). Modal manusia yang dibutuhkan adalah wira swasta, tenaga teknik dan manajer. Hanya saja pengembangan SDM ini membutuhkan waktu lama, karena itu perlu ditemukan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih praktis misalnya sistem magang sebagaimana dikembangkan di Jerman sejak abad pertengahan. Pendidikan turun menurun, melalui keluarga memerlukan perhatian dan karena itu perlu mendapatkan perhatian pemerintah.

Implementasi ekonomi Islam dalam berbagai bidangnya pada sepuluh tahun terakhir (2000-2010) menunjukkan pertumbuhan yang sangat impresif. Hal ini berbeda sekali dengan perkembangan aplikasi ekonomi Islam dalam sepuluh tahun sebelumnya (1989-1999). Perkembangan ekonomi islam ini ditandai dengan berkembangnya perbankan syariah di Indonesia. Hal ini tidak lain karena dasar hukum perbankan syariah telah jelas, yaitu UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Begitu juga UU No. 21 tahun 2008 memiliki beberapa ketentuan umum yang menarik untuk dicermati. Ketentuan umum dimaksud (Pasal 1) adalah merupakan sesuatu yang baru dan akan memberikan implikasi tertentu. Dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 21 tahun 2008 tersebut telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan bank Syariah di Indonesia.
Dengan adanya dasar hukum bagi perbankan syariah tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan jaringan kantor bank Syariah yang dapat lebih menjangkau masyarakat yang membutuhkan di seluruh Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah institusi perbankan Syariah yang tumbuh dan berkembang. Pada tahun 1989-1999 hanya ada 2 BUS, 1 UUS, dan 79 BPRS dengan aset masih berkisar 1,5 triliun. Sedangkan pada kurun waktu 2000-2010 hingga bulan Januari 2011, jumlah institusi perbankan Syariah telah menjadi 11 BUS, 23 UUS, 151 BPRS dengan aset mencapai 95 Trilyun plus 745 M. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, fenomena ini sangat menarik untuk dicermati, mengingat perbedaan level perkembangan ekonomi Islam antara dua kurun waktu tersebut sangat jauh berbeda. Hal ini menimbulkan pertanyaan yang perlu elaborasi, apakah karena faktor politik ekonomi pemerintah RI yang pada kurun waktu ke-2 lebih mengakomodir sistem ekonomi Islam sehingga menggairahkan para pihak untuk lebih konsen dalam mengembangkan ekonomi Islam ataukah karena faktor lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian mengenai hubungan negara dan ekonomi Islam pasca reformasi yang notabenenya pada kurun waktu ke-2 tersebut. Kajian itu penting karena hasilnya dapat dijadikan sebagai landasan akademis untuk menerapkan politik ekonomi yang lebih progresif dan apresiatif terhadap ekonomi Islam agar tujuan pembangunan ekonomi di Indonesia dapat segera terwujud.

Pertumbuhan Ekonomi Islam di Indonesia
Indonesia terbilang tertinggal di banding negara muslim lain dalam pendirian bank Syariah sebagai bentuk awal pertumbuhan ekonomi Islam di berbagai belahan dunia Islam, bahkan dengan negara tetangganya yang serumpun yaitu Malaysia. Malaysia mendirikan Bank Islam pertamanya pada tahun 1983 yang diberi nama Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB). Sebelum BIMB didirikan, Pemerintah Malaysia telah mengumandangkan Islamic Banking Act pada tahun 1983, sehingga payung hukum dan legalitas BIMB sebagai institusi keuangan Syariah sudah sangat jelas dan kuat.
Sedangkan di Indonesia, pendirian bank yang beroperasi berdasarkan prinsip Syariah pertama kali bermula pada tahun 1991 dengan pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun didirikan pada 1991 tetapi baru beroperasi pada tahun 1992. Itupun belum memakai nama bank Syariah tetapi sebagai bank bagi hasil, karena memang belum ada payung hukum yang menjadi naungan berdirinya bank Syariah di Indonesia. Dengan demikian, Indonesia tertinggal 9 tahun dari Malaysia dalam memulakan praktik ekonomi Islam, khususnya dalam perbankan Syariah.
Dalam kurun waktu tahun 1991-1998, perkembangan bank Syariah di Indonesia dapat dikatakan lambat. Ini disebabkan karena aspek perundangan. Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 yang merupakan salah satu peraturan pelaksanaan undang-undang tersebut, dalam pasal 6 menentukan bahwa bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang kegiatannya berasaskan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan usaha yang tidak berasaskan prinsip bagi hasil. Begitu juga sebaliknya. Ini bermakna, tidak ada peluang untuk membuka Syariah windows di bank konvensional. Peraturan itu menjadi penghalang bagi berkembangnya bank Syariah, karena jalur pertumbuhan bank Syariah hanya melalui perluasan kantor bank Syariah yang telah ada atau pembukaan bank Syariah baru yang membutuhkan dana sangat besar.
Pada sisi lain, aturan lebih komprehensif yang mengatur tentang bank Syariah masih sangat terbatas, sehingga dalam banyak hal bank Syariah harus patuh pada peraturan perbankan konvensional. Oleh karena itu, manajemen BMI cenderung untuk meniru produk dan jasa perbankan konvensional yang kemudian “ diislamkan” ini menyebabkan jenis produk dan jasa yang ditawarkan oleh BMI terbatas, sebab tidak semua produk dan jasa bank konvensional bisa diislamkan. Akibatnya tidak semua kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi.
Pada saat bersamaan, pada tahun 1992-an tersebut, berkaca pada berhasilnya pendirian BMI sebagai bank yang menganut prinsip Syariah, telah mengilhami kesadaran masyarakat untuk mengamalkan ekonomi Syariah, sehingga sejak itu mulai didirikan lembaga keuangan Syariah mikro yaitu Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS, kini singkatannya menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) dan Baitul Mal Wattamwil (BMT).
Istilah BMT berasal dari dua suku kata yaitu bayt al-mal dan bayt al-tamwil. Istilah bayt al-mal berasal dari kata bayt dan al-mal. Bayt artinya bangunan atau rumah, sedangkan al-mal berarti harta benda dan kekayaan. Jadi secara etimologis (harfiyyah) atau segi bahasa berarti, baytul mal berarti rumah kekayaan. Namun demikian kata bayt al-mal biasa diartikan sebagai perbendaharaan (umum atau negara). Sementara bayt al-tamwil berasal dari kata bayt artinya rumah, dan al-tamwil merupakan bentuk masdar yang artinya pengumpulan harta. Jadi bayt al-tamwil dapat diartikan sebagai rumah pengumpulan harta atau dapat diidentikkan dengan bank pada zaman modern ini. Dalam konteks Indonesia, BMT memiliki makna yang khas, yaitu lembaga keuangan mikro Syariah untuk membantu usaha ekonomi rakyat kecil, yang beranggotakan perorangan atau badan hukum, yang dijalankan berdasarkan prinsip Syariah dan prinsip koperasi. Pada akhir 2010, jumlah BMT di Indonesia mencapai 4000an buah.
Pada tahun 1998, pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang di dalamnya sudah memuat tentang operasi perbankan berdasarkan prinsip Syariah. Setahun kemudian pemerintah mengundangkan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) yang dalam Pasal 10, menyatakan bahwa BI dapat menerapkan policy keuangan berdasarkan prinsip-prinsip Syariah. Hadirnya 2 undang-undang tersebut semakin memperkokoh landasan yuridis eksistensi bank Syariah di Indonesia.
Selain mengatur bank Syariah, kedua UU tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk mulai melaksanakan dual banking system, yaitu sistem perbankan konvensional dan Syariah yang berjalan secara berdampingan, di mana bank konvensional yang telah ada dibolehkan membuka Syariah windows. Sejak itu, didirikan berbagai Unit Usaha Syariah (UUS) di bank konvensional seperti Bank IFI cabang usaha Syariah (1999), Bank Jabar cabang usaha Syariah (2000), Bank BNI 46 Syariah (2000), Bank Bukopin cabang usaha Syariah (2001), BRI Syariah (2001), Bank Danamon Syariah (2002), BII Syariah (2003) dan lain-lain. Di samping itu berdiri pula Bank Umum Syariah (BUS) seperti Bank Syariah Mandiri (BSM) yang sepenuhnya beroperasi secara Syariah (1999) dan Bank Syariah Mega Indonesia (2004). Hingga Januari 2011, telah menjadi 11 BUS, 23 UUS, 151 BPRS dengan aset mencapai 95 Trilyun plus 745 M (per Januari 2011). Telah ada lembaga asuransi syari’ah yang berdiri pada 42 perusahaan asuransi syari’ah dan 3 perusahaan re-asuransi syariah
Perkembangan praktik ekonomi Islam dalam bidang asuransi Syariah di Indonesia dimulai sejak tahun 1994 yang ditandai dengan pendirian PT Asuransi Takaful Indonesia. Setelah itu, jasa asuransi yang dikelola berdasarkan prinsip syariah mulai dikembangkan baik oleh lembaga asuransi full syariah ataupun perusahaan asuransi yang mengembangkan divisi syariah. Keberadaan asuransi syariah didorong oleh anjuran adanya upaya-upaya menuju kepada perencanaan masa depan dengan sistem proteksi yang dikenal dalam mekanisme asuransi dan keyakinan sebagian masyarakat bahwa pengelolaan asuransi harus sejalan dengan kaidah dan prinsip syariah khususnya berkaitan dengan pengelolaan keuangan yang bebas riba, maysir dan gharar. Akhir 2007 terdapat 37 perusahaan asuransi syariah, 3 reasuransi syariah, 5 broker asuransi dan reasuransi Syariah. Menurut Biro Perasuransian Bapepam-LK pada tahun 2010
Perkembangan yang menggembirakan juga terjadi di pasar modal. BerdasarkanKeputusan Nomor: Kep-523/BL/2010 tentang daftar efek Syariah, telah ditetapkan nama-nama efek yang sesuai dengan Syariah berjumlah 209 yang terdiri dari SBSN, saham, obligasi Syariah, dan reksadana Syariah. Ini berarti semakin banyaklah efek yang dapat dipilih masyarakat untuk berinvestasi di pasar modal Syariah.
Secara spesifik, pemerintah Indonesia telah menerbitkan sukuk negara sebagai salah satu instrumen pembiayaan pemerintah, yaitu sukuk global, korporasi, dan sukuk ritel. Sukuk negara perdana yang dikeluarkan pemerintah Indonesia diterbitkan dengan tingkat imbalan tetap sebesar 8,8 persen dengan tenor lima tahun, sedangkan yang sukuk ritel bertenor 3 tahun dengan imbalan tetap sebesar 12 persen. Faktor utama yang mendasari penerbitan sukuk negara ini, yaitu sebagai instrumen diversifikasi pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan percepatan akselerasi ekonomi syariah di Indonesia. Dalam hal lembaga bisnis Syariah, perkembangannya di Indonesia juga sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai perusahaan pembiayaan yang menawarkan jasa keuangan Syariah seperti FIF Syariah, al-Ijarah Indonesia Finance, dan lain-lain. Muncul juga bisnis sektor riil baik barang maupun jasa yang menerapkan prinsip Syariah seperti Sofyan Hotel, Ahad-Net internasional, dan lain-lain.
Di samping itu, dalam sektor keuangan publik Islam juga telah berkembang lembaga-lembaga yang bonafid dan dibentuk pemerintah seperti BWI (Badan Wakaf Indonesia) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat nasional) dan derivasinya sebagai pengejawantahan regulasi yang diundangkan pemerintah. Walaupun lembaga-lembaga tersebut belum optimal menggali potensi dana wakaf, zakat, infak, dan sedekah dari masyarakat Indonesia yang memang potensinya sangat besar. Menurut Direktorat Pemberdayaan Zakat yang disampaikan dalam Lokakarya Peradaban Zakat di DIY, 7-9 April 2008 mencapai 39 trilium Rupiah per tahun. Angka ini hampir sama dengan hasil kajian Rumah Zakat pada tahun 2007. Padahal dari potensi yang sebegitu besar itu, baru 900 Miliar yang dapat dihimpun. Oleh karena itu, untuk menghimpun potensi dana wakaf, zakat, infak, dan sedekah yang ada di masyarakat Indonesia masih diperlukan upaya yang lebih canggih dengan dukungan sumber daya manusia (SDM) yang profesional.
Dalam bidang akademis, beberapa universitas terkemuka di Indonesia juga giat mengembangkan kajian akademis tentang ekonomi syariah. Hal itu ditandai dengan banyaknya lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan program pendidikan formal maupun pelatihan dalam bidang Ekonomi Islam, Keuangan Islam dan Perbankan Syariah baik pada tingkat Sarjana (S1) maupun tingkat Pascasarjana (S2 dan S3).
Berdasarkan gambaran di atas, perkembangan dan pertumbuhan praktik ekonomi Islam di Indonesia, terutama di era reformasi memberikan harapan besar yang menumbuhkan optimisme bagi umat Islam untuk terus berupaya mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia, terlebih lagi dukungan pemerintah yang diwujudkan dalam berbagai regulasi dan political will semakin nyata mendukung pengembangan ekonomi Islam di Indonesia.

Peran Ekonomi Islam di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5%. Namun, catatan angka diatas kertas tersebut berbanding jauh terhadap realita di lapangan. Dengan jumlah penduduk sebanyak 259.940.857 jiwa, Indonesia masih memiliki warga yang menganggur sebanyak 12,8 juta jiwa dengan pendapatan perkapita sebesar US$3.542,9 yang masih tergolong rendah. Hal itu tentunya menjadi sebuah fenomena yang cukup miris mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan SDA yang melimpah dan SDM yang cukup berkualitas. Ekonomi islam yang mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 1992 diharapkan dapat berperan penting guna memecahkan permasalahan yang hingga sampai saat ini belum bisa diselesaikan. Berikut merupakan peran-peran ekonomi islam yang dapat dijadikan potensi agar Indonesia dapat menjadi negara yang maju.
1. Instrumen zakat, infaq, sodaqoh dan sebagainya merupakan icon instrument yang dapat mensejahterakan ‘wong cilik’. Potensi zakat di Indonesia mencapai Rp. 100 triliun. Dari dana tersebut, bangsa ini dapat membangun ratusan sekolah dan puluhan rumah sakit. Selain itu, instrumen ini guna menjawab amanat Pancasila dan UUD 1945, yakni menciptakan masyarakat yang adil dan makmur (redistribution with growth). Bukan makmur baru adil (redistribution from growth) ala kapitalisme liberal.
2. Penerapan konsep jujur, adil, dan bertanggung jawab. Konsep ini merupakan syarat yang harus terpenuhi dalam melaksanakan kegiatan ekonomi. Instrumen ekonomi seperti gadai, sewa-menyewa dan perdagangan harus menonjolkan konsep ini. Penerapan konsep ini ditujukan agar tidak ada yang dirugikan dalam kegiatan ekonomi dan menguntungkan semua pihak yang terlibat sehingga tidak akan terjadi berbagai macam kecurangan-kecurangan yang dapat menimbulkan konflik sosial.
3. Pelarangan riba dengan menjadikan sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrumen mudharabah dan musyarakah sebagai sistem kredit berikut instrumen bunganya (Q.S Al-Baqarah:275). Bunga bank memiliki efek negatif tehadap aktivitas ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, bunga bank akan mengakibatkan petumbuhan ekonomi yang semu dan akan menurunkan kinerja perekonomian secara menyeluruh serta dampak-dampak lainnya. Dalam segi sosial pun akan membuat masyarakat terbebani akan bunga yang dirasa begitu berat (chaos). Dengan pelarangan riba ini, diyakini bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat.
Ketiga poin tersebut merupakan sebahagian kecil peran ekonomi islam dalam mengatasi permasalahan-permasalahan bangsa yang hingga saat ini belum dapat diselesaikan.
Karakteristik Ekonomi Islam
Ekonomi sebagai suatu usaha mempergunakan sumber-sumber daya secara rasional untuk memenuhi kebutuhan, sesungguhnya melekat pada watak manusia. Tanpa disadari, kehidupan manusia sehari-hari didominasi kegiatan ekonomi. Ekonomi Islam pada hakikatnya adalah upaya pengalokasian sumber-sumber daya untuk memproduksi barang dan jasa yang sesuai dengan petunjuk Allah Swt. dalam rangka memperoleh ridho-Nya.
Menurut ahli Ekonomi Islam, ada 3 (tiga) karakteristik yang melekat pada Ekonomi Islam, yaitu :
a) Inspirasi dan petunjuknya diambil dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah;
b) Perspektif dan pandangan ekonominya mempertimbangkan peradaban Islam sebagai sumber;
c) Bertujuan untuk menemukan dan menghidupkan kembali nilai-nilai, prioritas, dan etika ekonomi komunitas muslim pada periode awal.
Berkaitan dengan hal pertama, terdapat deripatif dari karakteristik Ekonomi Islam, yaitu sbb. :
• Tidak adanya transaksi yang berbasis bunga (riba).
• Berfungsinya institusi zakat.
• Mengakui mekanisme pasar (market mechanism).
• Mengakui motif mencari keuntungan (profit motive).
• Mengakui kebebasan berusaha (freedom of enterprise).
• Kerjasama ekonomi (Didin Hafidhuddin, 2003: 18-19).

Perlunya penerapan ekonomi Islam Di Indonesia
Peran ekonomi islam dalam percaturan ekonomi Indonesia sangat memiliki pengaruh yang cukup besar. Ekonomi islam perlu diterapkan dan ditingkatkan eksistensinya karena manfaatnya yang luar biasa dalam mengatasi permasalahan bangsa dibandingkan dengan menerapkan sistem ekonomi konvensional yang justru menjerat dan membenani masyarakat, khususnya ‘wong cilik’. Berikut ini adalah sebuah jawaban mengapa perlu diterapkannya ekonomi islam di Indonesia.
1. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim dengan persentase 85%. Jadi, sudah sewajarnya ekonomi islam diterapkan kedalam sistem perekonomian Indonesia.
2. Ekonomi islam bersifat universal, artinya tidak hanya ditujukan untuk umat muslim saja, melainkan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil alamin).
3. Sudah banyak masyarakat yang telah menggunakan/menerapkan sistem ekonomi islam, khususnya perbankan syariah.
4. Masyarakat telah merasakan secara langsung manfaat dari pelaksanaan sistem ekonomi islam baik secara individu maupun sosial.
Apabila peluang-peluang ini dimanfaatkan secara serius dan baik, maka bukan tidak mungkin masalah-masalah yang menjerat Indonesia selama ini akan terselesaikan. Secara logika, dasar dan prinsip telah terbukti bahwa ekonomi islam dapat dikatakan lebih baik dan dapat menjawab tantangan global yang rentan krisis daripada ekonomi konvensional. Dengan menerapkan ekonomi islam, bukan tidak mungkin Indonesia bahkan dunia dapat kebal dari krisis ekonomi dan dampak yang dihasilkannya. Untuk perkembangan perekonomian dimasa mendatang, diharapkan ekonomi islam tidak hanya dijadikan produk semata, melainkan menjadi the truly islamic economic which can help to solve economic problems in this country.
1.) Pelaksanaan Perkembangan Ekonomi Islam dalam konteks ( Ekonomi Makro Islam )
Kebijakan ekonomi makro islam yang diambil:
1. Membuat mata uang yang memiliki jaminan emas (2011-2012).
 Pelaksana Bank Indonesia.
 Bank Indonesia bertanggung jawab penuh atas program itu.
 Sebelumnya mata uang yang belum mendapat jaminan emas ditarik
sedikit demi sedikit kemudian diganti dengan mata uang yang punya
jaminan emas.
2. Menghilangkan inflasi (2012-2014).
 Pelaksana Bank Indonesia.
 Bank Indonesia menghilangkan intrumen bunga dalam segala transaksi
keuangan.
 menerapkan kebijakan fiskal islam dalam mengatur pengeluaran dan
pendapatan Negara.
3. Mengunakan standar emas dalam satuan hitung (2011-2012).
 Pelaksana Bank Indonesia.
 Program ini berjalan bersama dengan membuat mata uang yang memiliki
jaminan emas.
 Program ini membantu perhitungan nilai mata uang.
4. Mengoptimalkan zakat sebagai pendapatan Negara (2012-2015).
 Pelaksana BAZNAS dan DPR RI.
 DPR RI segera membuat aturan UU yang berhubungan dalam pengelolaan
zakat (2012-2013).
 Setelah aturan yang jelas sudah BAZNAS bertindak sebagai pengelola
Zakat.
 BAZNAS berkoordinasi dengan BAZDA dan LAZ untuk mensinergikan
program.
5. Membentuk bank sentral islam (2015-2016).
 Pelaksana Pemerintah Pusat RI.
 Bank Indonesia diganti sistemnya dengan mengunakan sistem syari’ah.
6. Sistem yang dipakai adalah sistem ekonomi islam (2011-2016).
 Pelaksana Pemerintah .
 Pemerintah membuat Kepres dan melakukan kebijakan tentang kewajiban
mengunakan sistem ekonomi islam dalam menjalankan pemerintahan.
 Pemerintah pusat dan daerah bersinergi dalam melaksanakan system
tersebut.
 Pemerintah pusat membuat program yang terencana dalam menerapan
program tersebaut.
7. Membuat undang-undang sistem ekonomi Islam (2011-2012).
 Pelaksana DPR RI dan Pemerintah Pusat.
 UU tentang sistem ekonomi islam harus dibuat beserta semua instrument
yang ada untuk menunjang program tersebut.
 Pemerintah membuat peraturan dalam mengejawantahkan UU tersebut.
2.) Pelaksanaan Perkembangan Ekonomi Islam dalam konteks ( Ekonomi Mikro Islam )
Kebijakan ekonomi mikro Islam yang diambil:
 Mengoptimalkan UMKM (2011-2021).
 Pelaksana Pemerintah, Lembaga Keuangan dan Masyarakat.
 Pemerintah memberikan bantuan modal berupa hibah (2011-2021).
 Lembaga keuangan member kemudahan dalam penambahan modal (2011-2016).
 Masyarakat membuat pemesaran yang efektif dalam optimalisasi UMKM (2011
2015).
 Sistem perbankan yang digunakan adalah sistem perbankan islam (2011-2021).
 Pelaksana Pemerintah dan lembaga Keuangan.
 Pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pengawas pelaksanaan system
perbankan islam.
 Lembaga keuangan sebagai pelaksana dan member edukasi terhadap masyarakat.
 Mengunakan pasar modal syari’ah, pengadaian syari’ah, rekasadana syari’ah,
obligasi syari’ah, asuransi syari’ah dll (2011-2021).
 Pelaksana BAPEPAM, Pegadaian, Perusahaan reksadana, Pemerintah, Perusahaan
Swasta, Perusahaan Asuransi dan Lembaga Keuangan Bank atau non Bank.
 Pemerintah sebagai komandan dan pengatur agar adanya sinergisitas program.
 Menghilangkan riba dalam dunia keuangan (2011-2012).
 Pelaksana Pemerintah.
 Pemerintah membuat aturan penghilangan bunga dalam segala transaksi.
 bunga dihilangkan secara utuh dan ada hukuman yang jelas bagi yang melanggar.

Kesimpulan
Sistem ekonomi islam saat ini yang diambil sebagai contoh adalah Bank Syariah setidaknya dengan sistim-sistimnya yang telah dijelaskan diatas telah melakukan program Ekonomi Islam/Syariah sebagai bentuk mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Dibutuhkan strategi yang terarah yang disesuaikan dengan kondisi negara kita saat ini.
Saat ini di Indonesia pengembangan ekonomi Islam dimulai dari lembaga keuangannya yang relative lebihwell established. Sisi akademis dan aspek legalitasnya sedikit tertinggal dari perkembangan praktek di lapangan, walaupun sebenarnya pengkajian ini berbeda dengan Malaysia, dimana pendidikan dan aspek legal sistem ekonomi Islam mampu mengimbangi kecepatan pertumbuhan lembaga keuangannya.
Dengan kondisi tersebut tentu dibutuhkan strategi yang tepat dan melibatkan pihak praktisi, akademis, ulama dan regulator untuk merancang tahapan-tahapan pengembangan lebih lanjut. Singkatnya dibutuhkan sebuahroad map ekonomi Islam di Indonesia untuk lebih membuat upaya pengembangannya lebih terstruktur dan terencana dengan baik.
Saat ini upaya pengembangan ekonomi Islam yang dilakukan masih bersifat parsial dan berjalan sendiri-sendiri ditiap stake holdernya. Kondisi ini pada satu sisi menguntungkan pada jangka pendek ketika setiap pihak dengan semangat dan kemampuannya berupaya mengembangkan ekonomi Islam.
Karena itu mutlak diperlukan sebuah ”Arsitektur Ekonomi Islam Indonesia” untuk menjadi road map pengembangan yang bersifat berkesinambungan. Para ”pejuang” ekonomi Islam harus duduk bersama dan merumuskan strategi yang komprehensif dalam merancang sistem ekonomi Islam di Indonesia. Seyogyanya rencana ini dapat kita realisasikan bersama demi kemajuan ekonomi umat agar terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
– Munawir Sjadzali (1990), Islam dan Tata Negara. Jakarta: Penerbit UI
– Bahtiar Effendy (1998), Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina
– Statistik Perbankan Syariah (Januari 2011), Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah BI
– Aad al-Harran (1995), Leading Issues in Islamic Banking and Finance. Selangor: Pelanduk Publication Sdn. Bhd., p. viii.
– M. Dawam Rahardjo (2004), “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, kata pengantar Buku Adiwarman Karim,Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, p. xviii-xix;
– Sofyan S. Harahap dan Yuswar Z. Basri (2004), “The History and Development of Islamic Banking in Indonesia, 1990-2002”, dalam Bala Shanmugan et al. (eds.), Islamic Banking: An International Perspective. Serdang: Universti Putra Malaysia Press
– Muhammad Amin Suma (2003), “Jaminan Perundang-undangan Tentang Eksistensi Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia”, Jurnal al-Mawarid, Edisi X,
– Muhammad Syafi‘i Antonio (2001), Bank Islam dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press,
– Adiwarman Karim (2004), Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada,; Heri Sudarsono (2004), op.cit.,
– Harun Nasution et al.(1992), Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan,
– Sofyan S. Harahap dan Yuswar Z. Basri (2004), op.cit., h. 42. Lihat pula Muhammad Syafi‘i Antonio (2001), op.cit., h. 25-28. Lihat pula Heri Sudarsono (2004), op.cit.,
– Direktorat Pemberdayaan Zakat dalam Lokakarya Peradaban Zakat di Hotel Ros In DIY, 7-9 April 2008.
– Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),
– Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek,

Laba & Riba

KONSEP
LABA & RIBA

Kelompok : Teller
Ketua : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi
Anggota :
– Annisa Fitria
– Fitri Handayani
– M. Zain Syihab
Semester : I PS ( Unggulan )

images

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

Laba

Pengertian Laba
Laba juga dikenal dengan istilah profit atau keuntungan. Profit (laba) merupakan salah satu unsur penting dalam perdagangan ataupun usaha yang dibangun, yang di dapat melalui proses pemutaran modal dalam kegiatan ekonomi. Islam sangat mendorong pendayagunaan harta melalui berbagai kegiatan ekonomi dan melarang untuk menganggurkannya agar tidak habis dimakan zakat. Bahkan dorongan ini secara khusus diperintahkan Allah kepada orang – orang yang mendapatkan amanah untuk memelihara harta milik orang – orang yang tidak atau belum mampu melakukan bisnis dengan baik. Misalnya anak – anak yatim.
Pengertia laba secara bahasa atau menurut Al-qur’an, As sunnah, dan pendapat ulama-ulama fiqih dapat disimpulkan bahwa laba adalah pertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapat juga dikatakan sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekspedisi dagang.
Profit ataupun laba dalam bahasa arab disebut dengan ar- ribh yang berarti pertumbuhan dalam perdagangan.profit ( laba ) merupakan pertambahan penghasilan dalam perdagangan. Laba kadang dikaitkan dengan pemilik barang dagangan dan adakalanya dikaitkan dengan barang dagangan itu sendiri. Kata ini hanya satu kali disebut dalam Al-Qur’an, yaitu ketika Allah mengecam tindakan orang – orang munafik: “ mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah berutung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”QS. Al- Baqarah :2 [ 16 ]
Menurut Qal’ahjiy , profit ( laba ) adalah tambahan dana yang diperoleh sebagai kelebihan dari beban biaya produksi atau modal. Secara khusus laba dalam perdagangan ( jual beli ) adalah tambahan yang merupakan perbedaan antara harga pembelian barang dengan harga jualnya. Menurut at – Tabiri untung yang diperoleh dari perdagangan adalah sebagai ganti barang yang dimiliki oleh si penjual di tambah dengan kelebihan dari harga barang saat dibeli sebelumnya. Dengan demikian, jika terjadi pertukaran barang tanpa ada pergantian atau kelebihan dari harga barang yang dibeli sebelumnya, berarti pedagang tersebut merugi.

Dasar-Dasar Pengukuran Laba Dalam Islam
1. Taqlib dan Mukhatarah ( Interaksi dan Resiko )
Laba adalah hasil dari perputaran modal melalui transaksi bisnis, seperti menjual dan membeli, atau jenis-jenis apa pun yang dibolehkan syar’i. Untuk itu, pasti ada kemungkinan bahaya atau resiko yang akan menimpa modal yang nantinya akan menimbulkan pengurangan modal pada suatu putaran dan pertambahan padaputaran lain. Tidak boleh menjamin pemberian laba dalam perusahaan–perusahaan mudharabah dan musyarakah.
2. Al – Muqabalah
Al-Muqabalah yaitu perbandingan antara jumlah hak milik pada akhir periode pembukuan dan hak–hak milik pada awal periode yang sama, atau dengan membandingkan nilai barang yang ada pada akhir itu dengan nilai barang yang ada pada awal periode yang sama. Juga bisa dengan membandingkan pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan income (pendapatan).
3. Keutuhan modal pokok
yaitu laba tidak akan tercapai kecuali setelah utuhnya modal pokok dari segi kemampuan secara ekonomi sebagai alat penukar barang yang dimiliki sejak awal aktivitas ekonomi.
4. Laba dari produksi
Hakikatnya dengan Jual Beli dan Pendistribusian, yaitu Pertambahan yang terjadi pada harta selama setahun dari semua aktivitas penjualan dan pembelian, atau memproduksi dan menjual yaitu dengan pergantian barang menjadi uang dan pergantian uang menjadi barang dan seterusnya, maka barang yang belum terjual pada akhir tahun juga mencakup pertambahan yang menunjukkan perbedaan antara harga yang pertama dan nilai harga yang sedang berlaku.
Berdasarkan nilai ini, ada dua macam laba yang terdapat pada akhir tahun, yaitu laba yang berasal dari proses jual beli dalam setahun dan laba suplemen, baik yang nyata maupun yang abstrak karena barang-barangnya belum terjual.
5. Penghitungan nilai barang di akhir tahun
Tujuan penilaian sisa barang yang belum sempat terjual di akhir tahun adalah untuk penghitungan zakat atau untuk menyiapkan neraca-neraca keuangan yang didasarkan pada nilai penjualan yang berlaku di akhir tahun itu, serta dilengkapi dengan daftar biaya-biaya pembelian dan pendistribusian. Dengan cara ini, tampaklah perbedaan antara harga yang pertama dan nilai yang berlaku yang dapat dianggap sebagai laba abstrak.
Proses penilaian yang didasarkan pada nilai pasaran (penjualan) itu berlaku untuk barang dagangan, sedangkan penilaian pada modal tetap berlaku untuk menghitung kerusakan–kerusakan (yang merupakan salah satu unsur biaya produksi), maka penilainnya harus berdasarkan harga penukaran.

Metode Perhitungan Laba Dalam Islam
Dalam Islam metode perhitungan laba didasarkan pada asas perbandingan. Perbandingan itu adakalanya antara nilai harta di akhir tahun dan di awal tahun, atau perbandingan antara harga pasar yang berlaku untuk jenis barang tertentu di akhir tahun dan diawal tahun, atau juga bisa antara pendapatan – pendapatan dan biaya – biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan income tersebut. Namun demikian Islam mengharamkan keuntungan yang mengandung unsur dan praktik bisnis haram, diantaranya :
1. Keuntungan dari bisnis barang dan jasa haram,
2. Keuntungan dari jalan curang dan manipulasi
3. Manipulasi dengan caramerahasiakan harga actual.
4. Keuntungan dengan cara menimbun dan spekulatif.
Dari uraian diatas jelas bahwa dibolehkan bagi siapa pun untuk mencari keuntungan tanpa ada batasan margin keuntungan tertentu selama mematuhi hukum – hukum Islam. Serta menentukan standar harga sesuai dengan kondisi pasar yang sehat. Namun bila terjadi penyimpangan dan kewenang – wenangan harga dengan merugikan pihak konsumen, tidak ada halangan bagi pihak penguasa sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya, untuk membatasi keuntungan atau mematok harga.
Islam tidak melarang seorang pebisnis muslim untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari aktivitas bisnis, karena pada dasarnya semua aktivitas bisnis termasuk dalam aspek muamalah yang memiliki dasar kaidah membolehkan segala sesuatu sepanjang diperoleh dengan jalan yang halal.
Menurut konsep islam nilai – nilai keimanan, akhlak dan tingkah laku seorang pedagang muslim memegang peranan utama dalam memengaruhi penentuan kadar keuntungan dalam transaksi atau muamalah Husein Syahatah memberikan beberapa kriteria umum islami yang dapat member pengaruh dalam penentuan batas keuntungan yang diinginkan oleh pedagang. Diantaranya :
a. Kelayakan dalam penetapan laba
Islam menganjurkan agar para pedagang tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan.
b. Keseimbangan antara tingkat kesulitan dan keuntungan.
Islam menghendaki adanya keseimbangan antara standar keuntungan dan tingkat kesulitan perputaran serta perjalanan modal.
c. Masa perputaran modal
Peranan modal berpengaruh pada standarisasi keuntungan yang diinginkan oleh pedagang, yaitu dengan semakin panjangnya masa perputaran dan bertambahnya tingkat resiko , maka semakin tinggi pula standar keuntungan yang diinginkan oleh pedagang. Sebaliknya, semakin berkurang tingkat bahaya, standardisasi keuntungan juga akan semakin rendah.
d. Cara menutupi harga penjualan
Jual beli boleh dengan harga tunai ataupun kredit, tunai sebagian dan sisanya dibayar dengan cara kredit ( cicilan ), dengan syarat adanya keridhaan keduanya ( pedagang dan pembeli ).
e. Unsur – unsur pendukung
Di samping unsur – unsur yang dapat memberikan pengaruh pada standardisasi keuntungan, seperti unsur – unsur yang berbeda dari waktu ke waktu, atau keadaan ekonomi baik yang marketable maupun yang non marketable. Bagaimanapun juga unsur – unsur itu tidak boleh bertentangan dengan kaidah – kaidah hukum islam.

Sumber Laba
Dari perbedaan terminologi, orientasi serta landasan ideologi di antara keduanya, tentunya berdampak pada kriteria penilaian sumber dari laba itu sendiri. Dengan prinsip dan tujuan bisnis yang telah ditetapkan dalam kaidah mu’amalah, laba dalam islam tidak hanya berpatokan pada bagaimana memaksimalkan nilai kwantitas laba tersebut, akan tetapi juga menyelaraskannya dengan nilai kwalitas yang diharapkan secara fitrah kemanusiaan dan Islam.
Dalam konsep mua’malah, tidak semua kebutuhan yang dipandang memiliki mashlahat dapat diproduksi, dikonsumsi, atau diperjualbelikan. Mashlahat dalam islam terbagi kepada tiga, yaitu;
1. Al Mashālihu al mu’tabarah
yaitu segala sesuatu yang telah dijadikan perhatian oleh syari’ah dan dalam penetapannya mengandung mashalat atau manfaat bagi manusia. Seperti disyari’atkannya jihad, diharamkannya membunuh, minuman keras, zina, dan mencuri. Semua itu ditujukan untuk penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta yang termasuk kepada tujuan utama dari syariah.
2. Al Mashālihu al mulghāt
yaitu segala sesuatu yang didalamnya dianggap memiliki mashalat namun tidak nyata atau kecil kemungkinannya. Seperti adanya anggapan persamaan dalam masalah pembagian warisan antara laki-laki dan perempuan, maka anggapan tersebut tidak dijadikan sandaran oleh syari’ah walau dianggap memiliki mashlahat. Juga adanya mashlahat pertambahan keuntungan atau laba dalam bisnis ribawi, semua itu ditolak oleh syari’ah karena sisi kerusakan dan kemudharatan yang lebih besar di dalamnya.
3. Al Mashālihu al Mursalāh
yaitu, maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum. Seperti membangun masjid, mencetak al Qur’ān, kitab-kitab dakwah, dan lain-lain.

Riba
Pengertian Riba
Asal makna “ riba ” menurut bahasa arab ialah ziyadah lebih ( bertambah ). Riba berarti menetapkan bunga / melebihkan jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Dalam pengertian lain, riba berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam – meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam, bisa melalui “bunga” dalam utang piutang, tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat terjadi dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa Jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam – meminjam uang. Karena masyarakat Mekkah merupakan masyarakat pedagang, yang dalam musim – musim tertentu memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam – meminjam pada masa tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Pinjam – meminjam uang terjadi untuk produktivitas perdagangan. Namun uniknya, transaksi pinjam – meminjam tersebut dikenakan bunga, bila seseorang tidak bisa melunasi utangnya pada waktu yang telah ditentukan. Adapun bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali tidak dikenakan bunga. Transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW menyebutnya dengan riba Jahiliyah.

Gambaran Bahaya dan Buruknya Riba
Konteks hadis
حَدَّ ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَعُثْمَا نُ بْنُ أَبِى شَيَبَةَ قَالُوا حَدَّ ثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا أَبُو الزُبَيْرِ عَنْ خَا بَرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ الِلهِ صَلَّى الِلهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ اَكِلَ الِّرِّبَا وَمُؤْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَا هِدَيْهِ وَ قَالَ هُمْ سَوَاءٌ
Dari Jabir r.a berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisannya, dan saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama. ( HR. Muslim )
Hadis tersebut menggambarkan mengenai bahaya dan buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin . begitu buruk dan bahayanya riba, sehingga digambarkan bahwa Rasulullah SAW melaknat seluruh pelaku riba. Pemakannya, pemberinya, pencatatnya, maupun saksi – saksinya. Semua golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW : “Mereka semua adalah sama” pelaknatan oleh Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggambarkan betapa mungkarnya perbuatan riba, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat suatu keburukan, tetapi keburukan tersebut membawa kemudaratan yang luar biasa, baik dalam skala individu bagi para pelakunya maupun masyarakat secara luas. Oleh karenanya, setiap Muslim wajib menghindarkan diri dari praktik riba dalam segenap aspek kehidupannya.
– Riba termasuk tujuh dosa besar yang harus dijauhi,
Hadis riwayat Bukhari

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ , عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهً عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : << اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الموبِقَا تِ >> , يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَالَ : << الشِّرْكُ بِااللهِ , والسِّحْرُ , وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِيْ حَرَّمَ اللهُ أِلَّا بِالحَقِّ , وَأَكْلُ الرِّبَا , وَأَكْلُ مَالِ اليَتِيْمِ , وَالتَّوَلِّيْ يَوْمَ الزَّحْفِ, وَقَذْفُ المِحْصَنَاتِ المَؤْمِنَاتِ الغَافِلاَتِ >>

Dari Abu hurairah r.a : Rasulullah SAW bersabda : “ jauhilah tujuh dosa besar” . para sahabat bertanya: “apakah ketujuh dosa besar tersebut ya Rasulullah? “ Rasulullah SAW bersabda: “ syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim dan menuduh berzina perempuan mukmin yang baik.”
– Riba mempunyai tujuh puluh pintu dosa
Hadis riwayat ibnu majjah yang artinya :
“ riba itu mempunyai tujuh puluh pintu (dosa) dan yang seringan – ringan dosanya adalah dosa seseorang yang menikahi ibunya sendiri.”
– Orang yang memakan riba pada hari kiamat perut – perutnya besar seperti berisi ular
Hadis riwayat ibnu Majah yang artinya:
“ Rasulullah SAW berkata : pada malam isra’ mi’raj aku mendatangi suatu kaum, perut mereka seperti rumah – rumah yang dihuni oleh ular dan dapat dilihat dari luar perut – perut mereka . aku pun bertanya ‘ wahai Jibril, siapakah mereka itu?’ ia menjawab mereka adalah pemakan riba.”

Macam – Macam Riba
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang piutang dan riba jual beli. Riba utang piutang terbagi lagi menjadi riba riba qardh dan riba jahiliyah. Adapun riba jual beli terbagi atas riba fadl dan riba nasi’ah.
• Riba qardh
Suatu manfaat atau kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berutang ( muqtaridh ).
• Riba jahiliyah
Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
• Riba fadhl
Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
• Riba nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan diserahkan kemudian.

Macam – macam riba:
1. Riba fadli ( menukarkan dua barang sejenis dengan tidak sama ).
2. Riba qardi ( utang dengan syarat ada keuntungan bagi yang member utang).
3. Riba yad ( berpisah dari tempat akad sebelum timbang terima ).
4. Riba nasa’ ( disyaratkan salah satu dari kedua barang yang dipertukarkan ditangguhkan penyerahannya ).
Sebagian ulama membagi riba itu atas tiga macam, yaitu :
1. Riba fadli
2. Riba yad
3. Riba nasa’
Adapun barang – barang yang berlaku riba padanya adalah emas, perak, dan makanan yang mengenyangkan atau yang berguna untuk yang mengenyangkan, misalnya garam. Jual beli barang tersebut, kalau sama jenisnya seperti emas dengan emas , gandum dengan gandum diperlukan tiga syarat diantaranya :
1. Tunai
2. Serah terima
3. Sama timbangannya
Kalau jenisnya berlainan, tetapi ‘ilat ribanya satu seperti emas dengan perak boleh tidak sama timbangannya, tetapi mesti tunai dan timbang terima. Kalau jenis dan ‘ilat ribanya berlainan seperti perak dengan beras, boleh dijual bagaimana saja seperti barang – barang yang lain ; berarti tidak diperlukan suatu syarat dari yang tiga itu.
Banyaknya klasifikasi riba diatas menunjukkan bahwa riba memiliki “ peranan ” penting dalam proses akumulasi harta. Berbagai teori tentang pentingnya bunga memang telah dikembangkan oleh para ekonomi kapitalis. Teori – teori ini telah diterapkan secara intensif oleh para kapitalis dan pengikutnya sejak berabad – abad yang lalu hingga sekarang. Teori – teori tersebut antara lain :
1. Time – Preference Theory
2. Liquidity Preference Theory
3. Interest And Deposit Mobilization
Bunga sebagai harga kelangkaan dari modal biaya kesempatan modal ( opportunity cost of capital ), bunga untuk mengimbangi penurunan nilai uang karena inflasi, dan bunga sebagai keuntungan ( laba ).

Beberapa Hadis dan Ayat yang melarang Riba

1. Firman Allah SWT
QS. Ali ‘imran : 130 yang artinya
“ Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
2. Firman Allah SWT
QS. Al- Baqarah : 275
وَاَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا . البقرة : ٢٧٥
“ Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

3. Firman Allah SWT
QS. Al-Baqarah 278 – 279 yang artinya
“ Hai orang – orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba ( yang belum di pungut )jika kamu orang – orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan ( meninggalkan siksa riba ), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat ( dari pengambilan riba ), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya,”

4. Firman Allah SWT
QS. Al- Baqarah 276
يَمْحَقُ الله ُالرِّبَو اوَيُرْبِى الصَّدَقَتِ. البقرة : ٢٧٦
“ Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.”
5. Firman Allah SWT
QS. Ar-Rum 39 yang artinya :
“ Dan sesuatu riba ( tambahan ) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah, dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka ( yang berbuat demikian ) itulah orang – orang yang melipat gandakan ( pahalanya ).”

6. Sabda Nabi SAW
Hadis Riwayat Muslim
عَنْ جَابِرٍ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ا كِلَ الرِّبَا وَمُوَ كِّلَهُ وَكَا تِبَهُ وَشَا هِدَيْهِ. رواه مسلم
Dari Jabir, “ Rasulullah SAW, telah melaknat ( mengutuk ) orang yang makan riba,wakilnya, penulisnya, dan dua saksinya.

Dari beberapa ayat dan hadis diatas jelas bagi kita bahwa riba itu betul – betul dilarang dalam agama Islam. Muncul pertanyaan, apakah semua riba tersebut ( 4 macam ) di atas termasuk dalam arti dan hadis itu? Jawaban dari pertanyaan tersebut, ada beberapa pendapat ulama, dan dapat disimpulkan bahwa riba nasi’ah jelas dilarang karena ayat tersebut diturunkan karenanya ( kejadian di masa Jahiliyah).
Biasanya tidak ada yang mau melakukan ( pinjaman dengan riba ) kecuali orang yang sangat membutuhkan , walaupun dia tahu dan yakin akan akibat yang akan menimpanya; tetapi karena terdesak oleh kebutuhan, terpaksa dipikulnya juga meskipun akan meruntuhkan bahunya. Apabila yang berutang memandang bahwa yang mempiutangnya tidak akan mendakwa, menagih pun tidak bila diberi bunganya. Tentu akan diberinya walaupun tambahan yang diberikannya itu didapatnya dari pinjaman pula kepada yang lain, atau dengan menjual hartanya yang ada. Keadaan terus – menerus demikian hingga habislah hartanya. Sesudah hartanya habis, dia pun akan tetap terus menerus mendapat tagihan, kadang – kadang sampai berakhir dengan masuk penjara atau barangnya yang tergadai menjadi korban. Adakah kemudaratan dan kecelakaan yang lebih dari itu ? si kaya , meskipun tampaknya dapat untung, tetapi ia telah memudaratkan saudaranya, menganiaya sesama manusia, serta akan mengalutkan keadaan masyarakat. Inilah yang di maksud oleh ayat Allah yang melarang mengambil harta dengan jalan batil. Meskipun sekarang si kaya kelihatan beruntung, tetapi kalau kita ingat firman Allah dalam surah Al-Baqarah 276, dan Ar-rum 39 diatas, kita percaya bahwa hartanya itu tidak akan membuahkan kebaikan padanya.
Dengan kerusakan masyarakat dan kemelaratan yang terjadi karena ujudnya riba, maka Allah Yang Maha Adil dan Mengetahui menitahkan larangan-Nya yang amat keras supaya riba dihapuskan, dilenyapkan dari muka bumi ini, sampai – sampai Allah berfirman bahwa orang yang tidak berhenti dari riba itu seolah – olah menantang peperangan dengan Allah dan Rasul-Nya. Riba nasi’ah diharamkan karena menimbulkan kemelaratan yang sangat besar, sedangkan riba yang lain menutup pintu kemudaratan.

H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algasindo, Bandung, 2013,Cet.65,hlm. 293
Riba Dalam Agama Samawi
Secara historis riba ( Bunga ( hampir sama tua dengan peradaban manusia, dan prakteknya sudah di kecam sejak lama. Plato, seorang filosof yunani ( 427 – 347 SM ) dan Aristoteles termasuk orang yang mengutuk penggunaan uang yang dalam literatur barat di sebut dengan usury atau interest .
Dari segi agama, bukan hanya islam yang mengutuk bunga namun juga agama yahudi dan nasrani. Dalam agama yahudi larangan praktik pengambilan bunga banyak terdapat dalam kitab suci agama yahudi, baik dalam perjanjian lama maupun Undang- undang Talmud. Adapun dalam agama Kristen, larangan praktek riba di kemukakan dalam kitab perjanjian baru. Ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 merupakan ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga. Namun ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktikan pengambilan bunga.
Meskipun semua agama mengutuk bunga, praktik bunga tetap berjalan hingga hari ini. Miller menyetakakan, bahwa bunga adalah sejumlah dana, di nilai dari uang, yang di terima si pemberi pinjaman ( kreditur ), sedangkan suku bunga adalah rasio dari bunga terhadap jumlah pinjaman. Harga sewa dari uang di sebut suku bunga dan dinyatakan sebagai presentase tahunan dari jumlah nominal yang di pinjam. Jadi, suku bunga adalah harga dari meminjam uang untuk menggunakan daya belinya.
Sebagaimana agama yahudi dan nasrani Islam juga sangat membenci riba, bahkan mengharamkan nya. Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib di hindari dari muamalah setiap muslim. Bahkan Yusuf Al – Qaradhawi dalam bukunya bunga bank haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba.
Sebagai suatu penyakit sosial, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui tahapan yang hampir sama dengan tahapan pengharaman khamar:
1. Tahap pertama dengan mematahkan pradigma manusia bahwa riba akan melipat gandakan harta.
2. Tahap kedua: memberikan bahwa riba di haramkan bagi umat terdahulu.
3. Tahap ketiga : gambaran bahw secara sifatnya akan menjadi berlipat ganda.
4. Tahap keempat : pengharaman segala macam dan bentuk riba. Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian priodisasi pengharaman riba.
Praktik Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana di jelaskan bahwa riba adalah segala tambahan yang isyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya pdanan yang di benarkan syariah. Praktik seperti ini dapat terjadi di hampir seluruh muamalah maliyah konten porer, diantaranya pada :
a. Transaksi perbankan
Basis yang digunakan dalam praktik perbankan ( konvensional ) adalah menggunakan basis bunga ( interest based ). Dimana salah satu pihak ( nasabah ) bertindak sebagai peminjam dan pihak lainnya ( Bank ) bertindak sebagai pemberi piinjaman. Atas dasar pinjaman tersebut, nasabah di kenakan bunga sebagai konpensasi dari pertangguhan waktu pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memedulikan apakah usaha nasabah mengalami keuntungan ataupun tidak.
Adapun tentang pendirian bank, sudak sering dibicarakan oleh beberapa orang islam terkemuka di Indonesia, baik dengan jalan pidato maupun di surat kabar – surat kabar. Tentang hal ini hendaklah diadakan permusyawarahan dari dua golongan:
1. Alim ulama ( ahli agama ) yang betul – betul memikirkan kepentingan agama dan masyarakat.
2. Pihak ahli ekonomi yang benar – benar mengetahui segala seluk – beluk bank dan perdagangan.
Permusyawaratan kedua kaum cerdik pandai itu tentu akan didasarkan atas keadaan dan kemaslahatan masyarakat dengan tidak mengesampingkan pokok – pokok agama islam.
Dengan permusyawaratan itu mereka dapat memutuskan bahwa pendirian bank dapat dilakukan dengan cara yang tidak termasuk golongan riba, atau barangkali memang sudah pada arti darurat.
b. Transaksi Asuransi
Dalam sector asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam asuransi ( konvesnsional ) terjadi tukar – menukar uang dengan jumlah yang tidak sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang mengansuransikan kendarannya dengan premi Rp. 1000.000,- / tahun. Pada tahun ketiga ia kehilangan mobilnya seharga Rp. 100.000.000,- . dan oleh karenanya pihak asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu Rp. 100.000.000,- . padahal jika diakumulasikan , ia baru membayar premi sebesar Rp. 3.000.000,- . jadi dari mana Rp. 97.000.000,- yang telah diterimanya? Jumlah Rp. 97.000.000,- yang diterima masuk ke dalam kategori riba fadhl ( yaitu tukar menukar barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktik asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah ( kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu ), karena uang klaim yang didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah.
c. Transaksi jual beli secara kredit
Jual beli kredit yang tidak dibolehkan adalah yang mengacu pada “ bunga” yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut berfluktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas ( gharar fitsaman ), sementara sebenarnya dalam syari’ah islam, dalam jual beli harus ada “kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan, barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh dealer dalam jual beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa” terhadap barang tersebut.

Riba, Usury, dan Interest
Kebanyakan orang masih bertanya-tanya apakah interest dan usury itu termasuk dalam kategori riba, Mengingat ada perbedaan fundamental antara keduanya. Usury lebih menekankan pengambilan keuntungan atas pinjaman uang secara berlebihan, sedangkan interest menurut sebagian orang adalah sesuatu yang wajar, demi menjaga nilai atas suatu mata uang. Interest dan Usury merupakan dua konsep dengan satu jiwa yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas pinjaman uang atau barang, yang sebenarnya barang atau uang tersebut tidak ada unsur tenaga kerja, sehingga sesuatu yang dihasilkan oleh
barang atau uang tersebut muncul tanpa resiko ataupun biaya.Dengan demikian Interest dan Usury termasuk dalam kategori riba, mengingat kedua-duanya menghasilkan tambahan keuntungan tanpa disertai adanya resiko dan biaya. Keuntungan yang dihasilkan berdasarkan perjalanan waktu semata atau yang sering dikenal dengan istilah time value of money.
Hikmah atau manfaat adanya pelarangan riba
Hikmah dari diharamkannya riba, selain hikmah umum yaitu untuk menguji keimanan seorang hamba ada juga hikmah yang lain yaitu sebagai berikut:
1. Melindungi harta orang muslim agar tidak dimakan dengan batil.
2. Memotivasi orang islam untuk menginvestasikan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan.
3. Menutup seluruh pintu bagi orang muslim yang membawa kepada memusuhi dan menyusahkan saudaranya, serta membuat benci dan marah kepada saudaranya.
4. Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena pemakan riba adalah orang-orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
5. Membuka pintu-pintu kebaikan didepan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya, misalnya dalam memberikan pinjaman ke saudaranya tanpa meminta uang tambahan saat pengembaliannya.
Kesimpulan
Pengertian laba secara bahasa atau menurut Al-qur’an, As sunnah, dan pendapat ulama-ulama fiqih dapat disimpulkan bahwa laba adalah pertambahan pada modal pokok perdagangan atau dapat juga dikatakan sebagai tambahan nilai yang timbul karena barter atau ekspedisi dagang.
Riba secara bahasa bermakna tumbuh dan membesar, bertambah banyak. Sedangkan secara istilah riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Riba dalam bahasa inggris disebut Usury, yang intinya adalah pengambilan bunga atas pinjaman uang dengan berlebihan, sehingga cenderung mengarah eksploitasi atau pemesanan. Adapun macam-macam riba yaitu: Riba fadhli, Riba qardhi, riba yad, dan Riba nasa’.
Pelarangan terhadap riba dalam islam sama halnya seperti pelarangan minuman keras (khamar). Yakni bahwa pelarangan terhadap riba berlangsung secara bertahap, sebagaimana larangan bagi semua orang minum khamar. Hal ini juga merupakan bukti bahwa islam berprinsip pada penentuan suatu hukum secara berangsur-angsur.
Interest dan Usury termasuk dalam kategori riba, mengingat kedua-duanya menghasilkan tambahan keuntungan tanpa disertai adanya resiko dan biaya. Keuntungan yang dihasilkan berdasarkan perjalanan waktu semata atau yang sering dikenal dengan istilah time value of money.
Hikmah dari diharamkannya riba, selain hikmah umum yaitu untuk menguji keimanan seorang hamba ada juga hikmah yang lain yaitu sebagai berikut:
– Melindungi harta orang muslim agar tidak dimakan dengan batil
– Memotivasi orang islam untuk menginvestasikan hartanya pada usaha-usaha yang bersih dari penipuan
– Menutup seluruh pintu bagi orang muslim yang membawa kepada memusuhi dan menyusahkan saudaranya, serta membuat benci dan marah kepada saudaranya
– Menjauhkan orang muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaannya, karena pemakan riba adalah orang-orang yang zalim dan akibat kezaliman adalah kesusahan.
– Membuka pintu-pintu kebaikan didepan orang muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya, misalnya dalam memberikan pinjaman ke saudaranya tanpa meminta uang tambahan saat pengembaliannya.

Daftar Pustaka :
– Al Qur’an dan Al Hadits
– Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
– Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nst, Marliyah, Rahmi Syahriza, Hadis – Hadis Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2015
– T.M Hasbi Assh- Shiddieqy.1974. Pengantar Fiqh Muamalah.Jakarta: Bulan Bintrang.
– Prof. Dr. H.IDRI.M.Ag. Hadis Ekonomi, Edisi I Tahun 2015,Kharisma Putra Utama Kencana Jakarta.
– Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008)
– Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007)
– Abdul Ghofur Anshori, Perbankan syariah di indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007)
– Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995)
– Ibrahim Lubis, Ekonomi Islam Suatu Pengantar II, (Jakarta: Kalam Mulia, 1995)
– Prof. Dr. Amir Syarifuddin. Garis – Garis Besar Fiqh, Tahun 2003, Karisma Putra Utama Kencana Jakarta.

Hak Milik & Kepemilikan Dan Jual Beli

Hak Milik dan Kepemilikan
&
Jual Beli

Kelompok : Teller
Ketua  : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi
Anggota :
– Annisa Fitria
– M. Zain Syihab
Semester : I PS ( Unggulan )

images
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

Hak Milik & Kepemilikan

• Pengertian Hak Milik
Menurut pengertian umum, hak ialah:
اِجْتِصَاصٌ يُقَرِّرُبِهِ الشَّرْعُ سُلْطَةَ أوْتَكْلِيْفَا
Artinya: “Suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasan atau suatu beban hukum.”
Ada juga hak didefinisikan sebagai berikut:
السُّلْطَةُ عَلَى الشَّيْئٍ أَوْمَا يَجِبُ عَلَى شَخْصٍ لِغَيْرِهِ
Artinya: “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya.”
Milik didefinisikan sebagai berikut:
اِخْتِصَاصٌ يُمْكِنُ صَاحِبُهُ شَرْعًا اَنْ يَسْتَبِدَّ بِالتَّصَرُّفِ وَاْلاِنْتِفَاعِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَانِعِ الْشَرْعِيِّ
Artinya: “Kekhususan terdapat pemilik suatu barang menurut syara’ untuk bertindak secara bebas bertujuan mengambil manfaatnya selama tidak ada penghalang syar`i.” [2]
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara`, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain. [3]
Hak milik adalah kekuasaan seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan mempunyai kebebasan bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.

• Pengertian kepemilikan
Kepemilikan merupakan masalah penting dalam kehidupan manusia, karena merupakan bagian dari kebutuhan hidup. Manusia tidak dapat memenuhi setiap kebutuhan jasmani atau naluriah tanpa memiliki sarana, sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan dan apa yang diperlukan. Konsep islam tentang kepimilikan sangat berbeda dengan system kapitalis yang sangat mengedepankan penguasaan hak milik pribadi, dan system sosial yang tidak mengakui hak milik individu. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi di samping kepemilikan umum, bahkan menjadikan hak milik pribadi sebagai dasar ekonomi.
Kepemilikan ( al – milkiyah ) berasal dari kata al-milk yang berasal dari kata malaka-yamliku-malkan wa mulkan wa milkan yang artinya menguasai atau memiliki. Kepemilikan secara sederhana berarti kepenguasan orang terhadap sesuatu ( aset atau harta ), dan aset tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Wahbah al – Zuhaily menjelaskan bahwamilik adalah keistimewaan ( istishas ) terhadap sesuatu yang menghalangi orang lain darinya dan pemiliknya bebas melakukan tasharruf secara langsung kecuali ada halangan atau syar’i.1 Definisi yang hampir sama juga dikemukakan Hasbi ash – Shiddieqy, bahwa milik adalah sesuatu yang mencegah oaring yang bukan pemiliknya untuk memanfaatkan dan bertindak tanpa izin si pemilik.2 Artinya, hak seseorang dalam menguasai sesuatu dan dibolehkannya seseorang dalam menguasai sesuatu dan dibolehkannya seseorang untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara’ , dimana bagi orang lain tidak diperkenankannya mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan bentuk – bentuk muamalah yang dibolehkan.
Dari definisi tersebut kepemilikan merupakan penguasaan terhadap suatu aset, baik aset bergerak maupun tidak bergerak. Dimensi kepenguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu aset berarti mempunyai kekuasaan terhadap aset tersebut, sehingga ia dapat menggunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain , baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalang – halanginya dari memanfaatkan aset yang dimilikinya itu. Namun yang perlu di garis bawahi adalah kepemilikan manusia dalam islam bersifat relatif, sedangkan kepemilikan hakiki adalah Allah. Allah la h pemilik segala kekuasaan / kepemilikan ( al- malik al-mulk ). Bahkan ketika menjelaskan asal kepemilikan Allah mennisbatkan harta kepada diri Nya: mal Allah ( harta Allah ). Lalu ketika menjelaskan perpindahan kepemilikan kepada manusia, Allah menisbatkan harta kepada manusia : amwalin ( harta mereka ) (QS. An – Nisaa’ [ 4 ] : 6 QS. at-taubah [ 9 ] : 103 ); amwalikum ( harta kalian ) (QS. al-Baqarah [ 2 ]:279 ); maluhu ( hartanya ) ( QS. al – Lail [ 92 ]: 11 ). Karenanya islam mengatur cara memperoleh kepemilikan, misalnya cara memperoleh harta dengan jalan yang halal, melarang kepemilikan atas harta yang digunakan untuk membuat keza liman atau kerusakan di muka bumi
– Kesucian Hak Milik
Hak milik dalam Islam mendapat perhatian yang cukup besar, bahkan salah satu dari lima tujuan syari’ah ( maqasid syari’ah ) adalah menjaga terpeliharanya hak milik / harta. Islam memandang harta mempunyai nilai yang sangat srategis, karena harta merupakan pemberian Allah kepada manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya, alat dan sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang waktu. Karenanya islam memberikan sanksi hukum terhadap siapa saja yang berani melanggar hak milik seseorang, misalnya pencurian, perampokan, penyerobotan, dan penggelapan. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :
Dari Abu Hurairah dia berkata, “ seorang laki- laki mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, ‘ Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seorang lelaki yang ingin merampas harta bendaku ?’ Beliau menjawab: ‘ Jangan kamu berikan hartamu kepadanya!” Laki – laki itu bertanya lagi, ‘Lalu bagaimana jika ia hendak membunuhku?’ Beliau menjawab: ‘ Maka kamu syahid.’ Dia bertanya lagi, ‘ Bagaimana pendapatmu jika aku yang berhasil membunuhnya?’ Beliau menjawab: ‘ Dia yang akan masuk ke dalam api neraka.

Hadis di atas menjelaskan bahwa Islam melindungi kepemilikan pribadi dan selainnya dari pencurian dan gasb (pengambilan tanpa izin), dan orang yang mati karena mempertahankan hartanya maka ia mati syahid. Sebagaimana diketahui bahwa dasar pemindahan hak mmilik dari seseorang kepada yang lain yaitu prinsip suka dan ridha. Dengan adanya prinsip suka dan rela ini, maka Islam melarang memiliki barang-barang orang lain melalui jalan yang tidak sah. Karenanya orang – orang yang mencuri merampas, atau mengambil brang yang bukan miliknya harus dikenakan sanksi. Adanya ketentuan ini dimaksudkan agar harta yang dimiliki benar – benar bersih dan diridhai Allah SWT, disamping juga untuk memberikan pelajaran bagi orang – orang yang berani untuk mencuri harta orang lain. Tujuannya adalah terciptanya kemaslahatan bersama sehingga masyarakat terhindar dari kekacauan. Dalam hadist yang lain disebutkan :

“Dari Abdullah bin Amr : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : barangsiapa yang berperang mempertahankan hartanya kemudian terbunuh maka ia adalah ssyahid.” (HR.Bukhari)
Disamping adanya perintah untuk mempertahankan harta yang dimiliki, Islam juga mengajarkan agar pemilikan terhadap sesuatu harus diperoleh dengan cara yang baik. Hal ini tentu saja dimaksudkan untuk menjaga kesucian kepemilikan tersebut. Rasulullah SAW bersabda:
Dari Rafi bin Khadij bahwa Nabi SAW: ‘ Barangsiapa yang bercocok tanam di lading suatu kaum tanpa izin mereka, maka ia tidak berhakatas tanaman itu sedikit pun dan baginya pembiayaanya. (HR Tirmidzi)
Hadis ini menjelaskan tentang salah satu contoh pemilikan atau pengolaan aset yang tidak dibenarkan dalam Islam, yaitu menanami tanah seseorang dengan tanaman tertentu tanpa izin pemilik tanah. Cara – carapemanfaatan tanah seperti ini banyak ditemui di masyarakat dan sering dianggap sepele, padahal memanfaatkan aset orang lain tanpa izin adalah perbuatan zalim bahkan dalam fiqh dianggap sebagai gasb (merampas hak orang lain) di mana pelakunya di ancam dengan hukuman yang keras. Menurut Abu Bakar al- Jazairi, “ Jika barang yang dirampas berupa tanah, kemudian perampas membangun rumah diatasnya, ataupun menanam tanaman diatasnya maka rumah tersebut harus dirobohkan / dihancurkan dan tanaman itu harus di cabut, sebagai gantinya perampas meminta ganti atas biaya pembangunan rumah tersebut atau biaya penanaman tanaman tersebut namun itupun jika pemilik tanah menyetujuinya. Menurut Jumhur ulama hadis, Hadis diatas menjadi dalil bahwa seseorang yang menanam tanaman di atas tanah yang bukan miliknya, maka tanaman tersebut menjadi hak pemilik tanah seutuhnya. Sedangkan yang menanam hanya memperoleh ganti rugi.

1. Kepemilikan Umum
Barang milik bersama ( al-amwal al-‘amnah) adalah setiap harta yang tidak masuk dalam kepemilikan individu (perorangan) dimana harta tersebut digunakan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umum. Dengan pengertian yang lain, barang milik bersama adalah benda yang memiliki fungsi untuk pemenuhan kebutuhan hidup pemiliknya, namun pada saat yang sama di dalamnya terdapat hak masyarakat. Dengan kata lain, barang umum adalah benda – benda yang dapat diakses oleh semua orang secara bebas. Dalam Islam benda- benda yang termasuk dalam kategori milik umum yaitu benda – benda yang dimiliki komunitas secara bersama – sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya seorang. Karena milik umum, maka setiap individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya. Fasilitas dan sarana umum tergolong kedalam jenis kepemilikan umum, karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. Kebebasan bagi setiap muslim menggunakan barang milik umum sebagai milik bersama, dan tidak boleh seorang pun memonopoli kepemilikan. Sebagai milik bersama, maka tidak ada hak individu menguasainya untuk kepentingan pribadi, dan jika ada orang lain membutuhkannya maka tidak boleh mencegahnya. Dengan demikian setiap Individu harus memahami bahwa disamping dirinya memiliki hak untuk memanfaatkan barang umum, didalamnya juga terdapat hak orang lain.

 Contoh – contoh kepemilikan umum
Kepemilikan umum ( kolektif) adalah semua benda yang dimiliki komunitas secara bersama – sama dan tidak boleh dikuasai oleh seorang saja.
a. Benda – benda yang merupakan fasilitas umum, karena menjadi kebutuhan pokok masyarakat dan jika tidak terpenuhi dapat menyebabkan perpecahan dan persengketaan. yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum seperti air, padang rumput, dan api.
b. Benda – benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan. Hal ini karena benda –benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum ( kelompok pertama di atas ) seperti jalan raya, sungai, mesjid, dan fasilitas umum lainnya.
c. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar. Barang tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit ( terbatas ) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak ( hampir tidak terbatas ) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit ( terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz ( barang temuan ), yang darinya harus dikeluarkan khumus , yakni bagiannya.

2. Kepemilikan Pribadi
Hak milik pribadi adalah hak manusia terhadap suatu barang yang diizinkan oleh syara’ untuk mengalokasikan atau memanfaatkannya, dan mencegah pihak lain untuk memanfaatkannya serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut jika milik tersebut diambil kegunaanya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli. Afzalur Rahman mengemukakan Islam mengakui adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan jalur yang sah menurut Agama Islam. Islam tidak melindungi kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Hak milik pribadi bagi manusia merupakan hak yang harus di hormati oleh siapa pun. Sebab hak ini telah ditetapkan pula sebagai hak dasar yang dimiliki setiap manusia. Kepemilikan individu dapat diperoleh melalui sebab – sebab kepemilikan sebagai berikut :
a. Ihrazul Mubahat ( Penguasaan Harta Bebas )
Ihrazul Mubahat adalah cara pemilikan melalui penguasaan terhadap harta yang belum dikuasai atau dimiliki pihak lain, atau harta benda yang tidak termasuk dalam milik yang dilindungi ( dikuasai oleh orang lain ) dan tidak ada larangan hukum untuk memilikinya. Contohnya , Tanah mati, ikan di laut, hewan, dan pohon di hutan.
b. Tawallud ( Berkembang Biak )
Tawallud adalah sesuatu yang dihasilkan dari sesuatu yang lainnya. Prinsip Tawallud hanya berlaku pada harta benda yang bersifat produktif atau benda bergerak yang dapat menghasilkan sesuatu yang baru atau yang lain seperti binatang yang dapat bertelur, beranak , menghasilkan susu, dan kebun yang dapat menghasilkan buah dan bunga.
c. Al – Khalafiyah ( Penggantian )
Al – Khalafiyah adalah penggantian seseorang atau sesuatu yang baru menempati posisi pemilikan yang lama. Penggantian dibedakan menjadi:
1. Penggantian atas seseorang oleh orang lain seperti pewarisan.
2. Penggantian benda atas benda yang lainnya seperti terjadi pada tadhim (pertanggungan) ketika seseorang merusakkan atau menghilangkan harta benda orang lain, lewat tadhim ini terjadi penggantian atau peralihan milik dari pemilik pertama kepemilik kedua.
d. Aqad ( Akad )
Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul sesuai dengan ketentuan syara’ yang menimbulkan pengaruh terhadap objek akad. Akad merupakan sebab pemilikan yang paling kuat dan berlaku luas dalam kehidupan manusia yang membutuhkan distribusi kekayaan dibandingkan dengan sebab – sebab pemilikan di atas.

3. Kepemilikan Negara
Harta- harta yang termasuk milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaanya menjadi wewenang Negara , dimana Negara dapat memberikan kepada sebagian warga Negara, sesuai dengan kebijaksanaannya. Makna pengelolaan Negara ini adalah kekuasaan yang dimiliki Negara untuk mengelola harta – harta milik Negara seperti fa’i, kharaj, jizyah, dan sebagainya. Menurut Ibnu Taimiyah,sumber utama kekayaan Negara yaitu zakat, barang rampasan perang ( ghanimah ). Selain itu, Negara juga meningkatkan sumber penghasilan dengan mengenakan pajak warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat. Kekayaan Negara secara actual merupakan kekayaan umum dan kepala Negara ( presiden ) hanya bertindak sebagai pemegang amanah dan Negara wajib mengeluarkannya untuk kepentingan umum dan melindungi hak fakir miskin. Karenanya dilarang penggunaan kekayaan Negara yang berlebih – lebihan . Bahkan Negara wajib mengembangkan system keamanan sosial dan mengurangi kesenjangan pendapat masyarakat.
Hak milik yang sempurna dapat beralih dari seseorang pemilik kepada orang lain sebagai pemilik yang baru, yaitu salah satunya dengan cara :
1. Jual beli atau tukar menukar
2. Hibah
3. Wakaf
4. Perkawinan yang sah atau kekerabatan (hubungan kekeluargaan)
5. Ashobah `Uhsubah Sabababiyah, yaitu ahli waris yang terikat oleh `ushubah sababiyah yaitu kekerabatan itu ditentukan berdasarkan hukum. Ashobah sababiyah menurut hukum itu terjadi lantaran :
a. Adanya perjanjian untuk saling tolong-menolong.
b. Wala`ul ataqoh atau wala`ul `itqi, yaitu `ushubah yang disebabkan karena memerdekakan budak (membebaskannya), sehingga ia memperoleh kedudukan yang bebas dan mempunyai hak serta kewajiban sebagai manusia bebas lainnya.
Dan apabila yang dimerdekakan itu meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris , maka bekas tuannya yang membebaskannya (mu`tiq) itulah yang berhak menerima harta warisannya. Tetapi apabila si tuan meninggal dunia, bekas budak yang dibebaskan tidaklah mewaris dari harta benda bekas tuannya itu.

Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu sebagai berikut :
إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ. (متفق عليه)
Artinya : “Hak wala’ itu orang yang memerdekakan.” (Muttafaq’alaih) [7]
Proses pemindahan hak milik bisa dikelompokkan dalam dua macam:
1. Pengalihan hak milik dengan maksud atau ikhtiar dari pemiliknya
2. Pengalihan hak milik tanpa kehendak dan ikhtiar pemiliknya tapi mengikuti keadaan dan kenyataan. Misalnya pengalihan dikarenakan orang yang sedang menjadi pemiliknya meninggal dunia. Pengalihan hak milik yang demikian namanya pengalihan hak ijbariyah yang tidak memerlukan adanya kerelaan pihak yang menerima sekalipun. Menurut Fiqh Islam para ahli waris dalam menerima pengalihan hak atas harta waris tidak diperlukan kerelaan.

Jual Beli
Jual beli dalam bahasa arab dikenal dengan istilah الْبَيْعُ yang pengertiannya adalah tukar menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara yang tertentu ( akad ). Secara terminologi, terdapat beberapa definisi jual beli.
Sebagian ulama lain memberi pengertian :
a) Ulama Sayyid Sabiq
Ia mendefinisikan bahwa jual beli ialah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. Dalam definisi tersebut harta dan, milik, dengan ganti dan dapat dibenarkan.Yang dimaksud harta harta dalam definisi diatas yaitu segala yang dimiliki dan bermanfaat, maka dikecualikan yang bukan milik dan tidak bermanfaat.Yang dimaksud dengan ganti agar dapat dibedakan dengan hibah (pemberian), sedangkan yang dimaksud dapat dibenarkan (ma’dzun fih) agar dapat dibedakan dengan jual beli yang terlarang.
b) Ulama hanafiyah
Ia mendefinisikan bahwa jual beli adalah saling tukar harta dengan harta lain melalui Cara yang khusus. Yang dimaksud ulama hanafiyah dengan kata-kata tersebut adalah melalui ijab qabul, atau juga boleh melalui saling memberikan barang dan harga dari penjual dan pembeli
c) Ulama Ibn Qudamah
Menurutnya jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan.Dalam definisi ini ditekankan kata milik dan pemilikan, karena ada juga tukar menukar harta yang sifatnya tidak haus dimiliki seperti sewa menyewa.

Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara ridha di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan disepakati. Inti dari beberapa pengertian tersebut mempunyai kesamaan dan mengandunghal-hal antara lain :
– Jual beli dilakukan oleh 2 orang (2 sisi) yang saling melakukan tukar menukar.
– Tukar menukar tersebut atas suatu barang atau sesuatu yang dihukumi seperti barang, yakni kemanfaatan dari kedua belah pihak.
– Sesuatu yang tidak berupa barang/harta atau yang dihukumi sepertinya tidak sah untuk diperjualbelikan.
– Tukar menukar tersebut hukumnya tetap berlaku, yakni kedua belah pihak memilikisesuatu yang diserahkan kepadanya dengan adanya ketetapan jual beli dengan kepemilikan abadi.

• Rukun Jual Beli
1. Penjual dan pembeli
Syarat yang harus dimiliki oleh penjual ataupun pembeli adalah :
a. Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b. Dengan kehendak sendiri ( bukan dipaksa ). Atau atas dasar suka sama suka atau ridha.
c. Tidak Mubazir ( Pemboros ), sebab harta orang yang mubazir itu di tangan walinya.
d. Baligh ( berumur 15 tahun ke atas / dewasa ). Anak kecil tidak sah jual belinya.
2. Adanya barang yang diperjual belikan ( Uang dan benda yang dibeli )
Syaratnya yaitu :
a. Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak.
b. Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia – nyiakan ( memboroskan ) harta yang terlarang.
c. Barang itu dapat diserahkan. Tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih ada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya ( kecohan ).
d. Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
e. Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli.
3. Akad ( Ijab Kabul)
Ijab adalah perkataan si penjual, umpamanya , “ Saya jual barang ini sekian”. Kabul adalah ucapan si pembeli , “ saya terima ( saya beli ) dengan harga sekian”. Pada intinya jual beli itu harus ada unsure suka sama suka ( ridha ).

Syarat-syarat orang yang berakad :
Para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :
1) Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat meakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah.
2) Atas dasar suka sama suka, yaitu kehendak sendiri dan tidak dipaksa pihak manapun.
3) Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

Syarat yang terkait dalam ijab qabul :
1) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
2) Qabul sesuai dengan ijab. Apabila antara ijab dan qabul tidak sesuai maka jual beli tidak sah.
3) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topic yang sama.

• Macam-Macam Jual Beli
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a. Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
1) Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
2) Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini h arus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
3) Jual beli benda yang tidak ada, Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b. Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
1) Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
2) Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
3) Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c. Dinjau dari segi hukumnya
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya.
2) Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqaha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1) Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2) Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
a. Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
b. Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
c. Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
d. Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
e. Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya. [9]
3) Fasid yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya :
a) jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
b) Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
c) Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
d) Jual beli barang rampasan atau curian.
e) Menawar barang yang sedang ditawar orang lain.

• Hukum – hukum Jual Beli
1. Mubah ( boleh ), merupakan asal hukum jual beli.
2. Wajib , umpamanya wali menjual harta anak yatim apabila terpaksa; begitu juga kadi menjual harta muftis ( orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya).
3. Haram , sebagaimana yang telah diterangkan pada rupa – rupa jual beli yang dilarang.
4. Sunat, misalnya jual beli kepada sahabat atau family yang dikasih, dan kepada orang yang sangat membutuhkan barang itu.

• Manfaat dan Hikmah Jual Beli
1. Manfaat jual beli :
Manfaat jual beli banyak sekali, antara lain :
a. Jual beli dapat menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
b. Penjual dan pembeli dapat memenuhi kebutuhannya atas dasar kerelaan atau suka sama suka.
c. Masing-masing pihak merasa puas. Penjual melepas barang dagangannya dengan ikhlas dan menerima uang, sedangkan pembeli memberikan uang dan menerima barang dagangan dengan puas pula. Dengan demikian, jual beli juga mampu mendorong untuk saling bantu antara keduanya dalam kebutuhan sehari-hari.
d. Dapat menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram.
e. Penjual dan pembeli mendapat rahmat dari Allah swt.
f. Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.

2. Hikmah jual beli
Hikmah jual beli dalam garis besarnya sebagai berikut :
Allah swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan dan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya, karena semua manusia secara pribadi mempunyai kebutuhan berupa sandang, pangan, dan papan.Kebutuhan seperti ini tak pernah putus selama manusia masih hidup. Tak seorang pun dapat memenuhi hajat hidupnya sendiri, karena itu manusia di tuntut berhubungan satu sama lainnya. Dalam hubungan ini, taka da satu hal pun yang lebih sempurna daripada saling tukar, dimana seorang memberikan apa yang ia miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

 

Kesimpulan

Hak milik adalah kekuasaan seseorang terhadap sesuatu atau terhadap suatu barang dan mempunyai kebebasan bertindak secara bebas terhadap barang tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia sendiri maupun dengan perantara orang lain.
kepemilikan merupakan penguasaan terhadap suatu aset, baik aset bergerak maupun tidak bergerak. Kepemilikan dibagi menjadi tiga :
1. Kepemilikan Umum
2. Kepemilikan Pribadi
3. Kepemilikan Negara
Jual Beli adalah tukar menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara yang tertentu ( akad ).
Rukun Jual Beli
1. Penjual dan pembeli
2. Adanya barang yang diperjual belikan ( Uang dan benda yang dibeli )
3. Akad ( Ijab Kabul)
DAFTAR PUSTAKA :

– Al Qur’an dan Al Hadits
– Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002
– Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nst, Marliyah, Rahmi Syahriza, Hadis – Hadis Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2015
– Imron Abu Amar, Terjemahan Fat-hul Qarib, Menara Kudus, Kudus, 1982
– A Dzajuli, Fiqh Siyasah, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2003
– Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, PT Dana Bhakti Wakaf, Jakarta, 1995
– T.M Hasbi Assh- Shiddieqy.1974. Pengantar Fiqh Muamalah.Jakarta: Bulan Bintrang.
– Achmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
– H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Sinar Baru Algasindo, Bandung, 2013
– Muhammad, Ibrahim Al-Jamal, Fiqih Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani, 1999
– Ahcmad Kuzari, Sistem Asabah Dasar Pemindahan Hak Milik atas Harta Tinggalan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996,
– Prof. Dr. H.IDRI.M.Ag. Hadis Ekonomi, Edisi I Tahun 2015,Kharisma Putra Utama Kencana Jakarta.
– Prof. Dr. Amir Syarifuddin. Garis – Garis Besar Fiqh, Tahun 2003, Karisma Putra Utama Kencana Jakarta.
– Drs. Gufron Ihsan, M.A, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Prenada Media Grup, 2008)
– Nasrun Haroen, fiqh muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama. 2007)

Prinsip Konsumsi Dalam Islam

PRINSIP KONSUMSI
DALAM ISLAM

Kelompok : Teller
Ketua : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi
Anggota :
– Annisa Fitria
– M. Zain Syihab
Semester : I PS ( Unggulan )

images.jpg

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

Pendahuluan       

Indonesia sebagai salah satu Negara dengan penduduk terbanyak di Dunia khususnya di kawasan ASEAN sekaligus sebagai Negara dengan penduduk mayoritas muslim. Sebagai Negara dengan penduduk terbanyak di Dunia dan mayoritas muslim, hal ini akan menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial untuk masuknya barang, jasa dan tenaga kerja terampil dari berbagai Negara lainnya di ASEAN. Sebagai anggota ASEAN tentunya Indonesia mempunyai peran yang sangat strategis dalam implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dikenal dengan istilah MEA yang telah dimulai di tahun 2015, terbentuknya MEA merupakan wujud dari keingingan negara-negara ASEAN untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan perekonomian yang solid dan diperhitungkan dalam perekonomian Internasional, dengan wujud adanya aliran bebas barang dan jasa, tenaga kerja terlatih (skilled labor), serta aliran investasi yang lebih bebas.
Dengan implementasi tersebut, Indonesia sebagai anggota ASEAN akan sangat berpotensi untuk dibanjiri barang-barang konsumsi. Membanjirnya barang-barang tersebut memang memiliki nilai positif bagi konsumen, dalam hal ini akan semakin banyaknya alternatif pilihan barang dan jasa yang dapat dikonsumsi. Namun demikian, di lain sisi jika hal ini tidak disikapi secara bijaksana justru akan menumbuh-suburkan budaya konsumtif pada masyarakat. Yang pada banyak kasus, perilaku konsumtif ini tidak didasarkan lagi pada teori kebutuhan (need), tetapi didorong oleh hasrat (desire) dan keinginan (want).
Di sudut lain, Indonesia dipandang sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim, tentunya menjadi pontensi pasar tersendiri bagi masuknya produk-produk halal dari berbagai negara yang nota bene mempunyai tempat tersendiri di kalangankunsumen muslim sebagai

Pengertian konsumsi
Konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syari’ah islamiyyah.
Islam sebagai rahinatan lil alamin menjamin agar sumberdaya dapat terdistribusi secara adil. Salah satu upaya untuk menjamin keadilan distribusi sumberdaya adalah mengatur bagaimana pola konsumsi sesuai dengan syariah islamiyah yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah. Konsep keberhasilan dan kesuksesan seorang muslim bukan diukur dari seberapa besar harta kekayaan yang diperoleh dan dimiliki. Kesuksesan seorang muslim diukur berdasarkan seberapa besar ketakwaan seseorang akan membawa konsekuensi terhadap berapapun besar dan banyaknya harta yang dapat dia peroleh dan bagaimana menggunakannya. Dia akan selalu bersyukur meskipun harta yang dimiliki secara kuantitas relatif sedikit. Apalagi jika yang diperoleh lebih banyak, akan semakin memperbesar rasa syukur dan semakin besar bagian yang akan diberikan kepada yang tidak mampu. Demikian pula saat kekurangan harta, dia akan tetap bersabar atas ujian yang telah menimpanya dan tidak mengambil jalan pintas untuk mendapatkannya apalagi sampai melanggar ketentuan syariat islam. Konsumsi merupakan bagian aktifitas ekonomi selain produksi dan distribusi. Konsumsi akan terjadi jika manusia memiliki uang (harta). Dalam islam harta merupakan bagian fitrah manusia untuk mencintainya. “Telah dihiasi untuk manusia untuk mencintai kesenangan terhadap wanita-wanita”
Konsumsi dalam ekonomi Islam dapat didefinisikan dengan memakan makanan yang baik, halal, dan bermanfaat bagi manusia ( QS. al- Maidah [5]:4,5 . Namun terminologi ini tidak berarti seorang konsumen dapat mengonsumsi segala barang yang dikehendaki, tanpa memperhatikan kualitas dan kemurniannya, atau mengkonsumsi sebanyak – banyaknya tanpa memperhatikan hak – hak orang lain yang ada di dalamnya. Karenanya, kesederhanaan merupakan salah satu prinsip dasar dalam konsumsi.
Dalam Kamus Besar Indonesia, konsumsi berarti pemakaian hasil barang produksi (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya). Konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makanan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari, akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun karena yang popular dikenal masyarakat luas tentang konsumsi adalah makan dan minum, maka tidak mengherankan jika konsumsi sering di identikkan dengan makan dan minum.
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum di definisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam, konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi konvensional adalah tujuan pencapaian konsumsi itu sendiri dan cara pencapaiannya harus memenuhi pedoman syari’ah islam.
Menurut Qal’ahjiy, konsumsi adalah melenyapkan zat sesuatu atau menghabiskan manfaat sesuatu untuk memperoleh manfaatnya. Menurut Mannan (seorang profesor dari Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank, Jeddah), konsumsi adalah permintaan, sedangkan produksi adalah penawaran atau penyediaan. Menurut beliau, perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran matrealistis semata mata dari pola konsumsi konvensional.

Prinsip Konsumsi Dalam Islam
Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal – haram, komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/ prinsip dasar konsumsi islami adalah (AI-Haritsi, 2006):
1. Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Prinsip akidah, yaitu hakikat konsusmsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapat beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
b. Prinsip ilmu, yaitu. seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam – hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
c. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
2. Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya :
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat.
b. Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
c. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu :
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.
c. Tertier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membatuhkan.
4. Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baikdalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
5. Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan
6. Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsusmsi islami seperti sutra menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.
Prinsip – prinsip dasar konsumsi islami ini akan memiliki konsekuensi bagi pelakunya. Pertama, seseorang yang melakukan konsumsi harus beriman kepada kehidupan dan akhirat di mana setiap konsumsi berakibat bagi kehidupannya di akhirat.
Kedua, pada hakikatnya semua anugerah dan kenikmatan dari segala sumberdaya yang diterima manusia merupakan ciptaan dan milik Allah secara mutlak dan akan kembali kepada-Nya . Manusia hanya sebagai pengemban amanah atas bumi untuk memakmurkannya konsekuensinya adalah manusia harus menggunakan amanah harta yang telah dianugerahkan kepadanya pada jalan yang disyariatkan.
Ketiga, tingkat pengetahuan dan ketakwaan akan mempengaruhi perilaku konsumsi seseorang.
Menurut Abdul Mannan, ada 5 prinsip konsumsi dalam islam :
a. Prinsip Keadilan, prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum.
b. Prinsip Kebersihan, makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera.
c. Prinsip Kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan.
d. Prinsip kemurahan hati, dengan mentaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan yang diberikan Allah.
e. Prinsip moralitas, seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan kesyukurannya kepada-Nya setelah makan.

Perilaku Konsumsi Dalam Islam
Islam sebagai pedoman hidup mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia bias melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemaslahatan hidupnya. Islam telah mengatur jalan hidup manusia melalui Alquran dan Hadis, supaya manusia di jauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasulullah SAW. akan menjamin kehidupan manusia yang lebih sejahtera.
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang Muslim, antara lain :
• Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
• Tidak melakukan kemubaziran
• Tidak hidup mewah dan boros
• Kesederhanaan
• Mementingkan kehendak sosial dibandingnkan yang bersifat pribadi.
1. Hidup Sederhana
“Tidak ada wadah yang dipenuhi manusia lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi putra-putra anak Adam beberapa suap yang dapat menguatkan tubuhnya. Kalaupun harus memenuhi perutnya, maka hendaklah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas”
Prinsip kesederhanaan memiliki implikasi bahwa konsumen boleh mengkonsumsi barang selagi barang tersebut mampu memberikan kebaikan serta kesempurnaan dalam usaha mengabdikan diri kepada Allah. Oleh karena itu, berdasarkan Hadis diatas, Islam menganjurkan agar dalam konsumsi manusia jangan terlalu kenyang karena hal tersebut akan menghambat pergerakan aktivitas yang lain .
2. Tidak Boros
“Dari Amir bin Sya’ab dari bapaknya dari kakeknya ia berkata : Rasulullah SAW bersada : ‘makanlah,minumlah,berpakaianlah, dan bersedekahlah dengan tidak berlebih-lebihan dan menyombongkan diri .”(HR.Abu Daud dan Ahmad)
Tidak boros merupakan salah satu prinsip pokok dalam konsumsi. Islam mengajarkan agar dalam konsumsi, konsumen muslim mengedepankan kesederhanaan, yakni menganjurkan agar konsumsi sampai tingkat mínimum ( estándar ) sehingga bisa mengekang hawa nafsu dan keinginan yang berlebihan (QS. al- Furqaan [25]:67; al- A’araaf [7]:31; al – Baqarah [2]:219). Konsumsi yang berlebihan adalah perbuatan keji karena termasuk pemborosan . Islam menganjurkan konsumsi yang dilakukan seimbang, tidak terlalu kikir dan berlebihan. Kikir dapat diartikan ketika seseorang tidak mengonsumsi harta yang dimiliki untu diri dan keluarganya sesuai dengan kebutuhan seharusnya. Islam menganggap perbuatan ini sebagai suatu kejahatan, karena di samping tidak mensyukuri karunia Allah juga karena di anggap menyembunyikan harta sehingga mengurangi tingkat produksi dan kesempatan kerja dalam masyarakat. Sedangkan berlebih – lebihan berarti menghambur – hamburkan kekayaan dan keinginan yang tidak penting. Praktik ini juga dilarang karena dapat mempercepat penipisan input – input produksi. Prinsip kesederhanaan juga mengajarkan kepada konsumen apabila pendapatan konsumen meningkat ,pendapatan tersebut seharusnya tidak digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi,namun untuk kesejahteraan sosial .
3. Tidak Hidup Mewah
Islam adalah agama yang komprehensif dan universal. Berbeda dengan sistem lainnya, Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat. Islam mengingatkan agar manusia tidak terlena dalam kehidupan yang matrelialistis dan hedonistis. Hal itu bukan berarti bahwa Islam melarang manusia untuk menikmati kehidupan dunia. Allah memberikan manusia berbagai kenikmatan yang menunjang kehidupan manusia yang dinamis, berupa pakaian, minuman, makanan, perumahan, kendaraan, alat komunikasi, alat rumah tangg, dan sebagainya. Hal yang menjadi perhatian yaitu Allah mengingatkan untuk tidak berbuat boros dan berlebih – lebihan ( Israf ). Termasuk dalam perilaku israf atau berlebih lebihan adalah implementasi watak manusia yang terus ingin menukar dan mengganti sesuatu yang dikonsumsi , padahal fungsi dan kualitas barang yang lama masih bagus.
Allah SWT sangat membeci orang yang berlebihan- lebihan. Seseorang yang belanja dengan Israf, tanpa skala perioritas maslahah, sehinggalebih besar spending-nya dari penghasilannya akan mendatangkan bencana bagi diri dan keluarganya. Dia akan terjerat utang yang berkapanjangan atau kesulitan hidup di masa depan. Islam juga mengingatkan manusia untuk berinfak ketika penghasilannya melebihi kebutuhan. Keberkahan harta akan diperoleh bagi orang yang suka berinfak.
4. Berinfak

عن عبد الله بن عمر ان رسو ل الله صلى الله عليه و سلم قال و هو على المنبر و هو يزكر الصدقة و التعفف عن المسألة اليد العليا خير من اليد العليا المنفقة والسفلى
“ diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, sedang beliau berada diatas mimbar. Beliau menyebutkan tentang sedekah dn menjauhi perbuatan mamina – minta, karana tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah adlah yang menerima.”
Menurut Kahf, perilaku ekonomi manusia dalam kerangka ekonomi Islam ditentukan oleh tiga prinsip yaitu :
1. Keyakinan terhadap hari akhir.
Keyakinan terhadap hari akhir akan menjadikan setiap individu mengarahkan perbuatan dan perilakunya untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Kepuasaan dan kesejahteraan di akhirat merupakan alternatif utama yang harus menjadi perhatian setiap individu. Konsumen akan menggunakan pendapatannya bukan hanya untuk kesenangan sesaat, melainkan untuk kesenangan yang tidak tampak yang akan dinikmati di akhirat kelak. Oleh karena itu, pendapatan yang ada tidak semua dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan duniawi, namun juga disisihkan utuk keperluan akhirat melalui pemberian infak maupun sedekah kepada orang lain yang membutuhkan.
2. Konsep keberhasilan.
Keberhasilan dalam Islam diukur dengan keridhaan Allah. Segala perbuatan yang dilakukan harus selaras dan tidak bertentangan dengan apa – apa yang telah ditetapkan Allah. Kekayaan , tenaga , waktu,semuanya harus digunakan untuk jalan Allah, bukan untuk kepentingan diri sendiri.
3. Konsep harta / kekayaan.
Kekayaan atau harta dalam Islam , merupakan amanah Allah yang harus dibelanjakan secara benar, adil, dan seimbang, yaitu tidak boros, tidak kikir, dan tidak pula mubazir. Harta yang dimiliki tidak semata – mata untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk kegiatan sosial seperti ZIS ( zakat, Infak, dan sedekah ) . Itulah kenapa Islam kemudian memotifasi umatnya untuk menyalurkan sebagian rezekinya dengan menyebutkan bahwa tangan yang di atas, yaitu orang – orang yang memberikan sebagian rezeki yang dimilikinya adalah perbuatan yang mulia.

Konsumsi islami berjalan secara seimbang apabila menunaikan nafkah yang wajib seperti zakat, infak, shodaqoh,( ZIS ), wakaf, kaffaroh (tebusan) dan lainnya dalam urusan yang bermanfaat untuk mereka yang membutuhkan. Dalam berbagai lapangan kebaikan, urusan yang mendesak, untuk kesempurnaan agama dan dunia tanpa menimbulkan kemudharatan bagi dirinya, keluarga atau yang lainnya. Inilah bukti kesederhanaan, kecerdasan dan bagusnya pengaturan.
Dalarn pendekatan model keseimbangan pendapatan nasional, zakat, infak dan shadaqah ( ZIS ) dapat dijelaskan melalui model maslahah/kesejahteraan umat manusia yang lebih luas. Dalam ekonomi konvensional, keseimbangan pendapatan nasional :
Y= C
dimana :
Y = pendapatan nasional dalam ekonomi konvensional
C = konsumsi dalam ekonomi konvensional
Sedangkan dalam ekonomi Islam, keseimbangan pendapatan nasional menjadi :
Yi = Cd + Ca
dimana :
Yi = pendapatan nasional dalam ekonomi islam
Cd = konsumsi untuk kepentingan dunia
Ca = konsumsi untuk kepentingan akhirat, yang terdiri dari konsumsi zakat (Cz)
ditambah dengan konsumsi infak dan sadaqah (Cis), Ca = Cz + Cis
Pemisahan antara konsumsi zakat (Cz) dengan konsumsi infak dan sadaqah dikarenakan antara zakat dengan infak dan sadaqah memiliki perbedaan konsep dalam pungutan dan penyalurannya. Zakat merupakan kewajiban bagi muslim yang memiliki kekayaan yang telah mencapai nishab dan haul, sedangkan infak dan sadaqah merupakan idle fund yang tidak terikat nishab dan haul maupun besaran jumlah persentase yang harus disalurkan. Semakin besar infak dan sadaqah yang disalurkan, maka semakin besar pula dampak multipliernya bagi perekonomian.
Islam sebagai pedoman hidup tidak menonjolkan standar atau sifat kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi sebagaimana yang dianut dalam ilmu ekonomi konvensional seperti utilitas dan kepuasan marginal, melainkan lebih menonjolkan aspek normatif. Kepuasan dari sebuah perilaku konsumsi menurut Islam harus berlandaskan pada tuntunan ajaran Islam itu sendiri. Dalam hal ini Muhammad Nejatullah Siddiqi mengatakan, konsumen
harus puas akan perilaku konsumsinya dengan mengikuti norma-norma Islam. Konsumen muslim seharusnya tidak mengikuti gaya konsumsi kaum xanthous (orang-orang berkulit kekuning-kuningan dan berambut kecoklat-coklatan) yang berkarakteristik menuruti hawa nafsu.
Dari hal-hal yang diuraikan diatas dapat dijelaskan bahwa prinsip perilaku konsumsi yang dapat memberikan kepuasan kepada konsumen menurut Islam adalah barang-barang yang dikonsumsi haruslah halal dan suci menurut syariat. Dalam hal perilaku atau gaya harus pula dalam batas wajar dalam arti tidak berlebih-lebihan (isyrāf) atau boros (tabżīr) meskipun seorang konsumen tergolong hidup kaya atau mampu.

Etika Perilaku Konsumsi
Perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai homogenisasi atau heterogenisasi budaya global. Homogenisasi dapat diartikan bahwa budaya lokal akan terkooptasi oleh budaya global atau justru yang terjadi sebaliknya. Budaya lokal akan semakin menunjukkan eksistensinya di tengah berkembangnya budaya global. Perubahan perilaku konsumsi seringkali dipandang sebagai hal yang negatif, menjadi kambing hitam dalam beberapa hal termasuk terdegradasinya budaya lokal, budaya bangsa maupun budaya Islam.
Sebagaimana dalam ilmu ekonomi konvensional, bahwa motif perilaku konsumsi dikenal dua macam, yaitu motif internal (dari diri manusia) dan motif ekstenal (dari luar diri manusia), demikian juga dalam Islam terdapat apa yang disebut motif internal dan eksternal dalam konsumsi.
Motif Internal
Adapun motif internal yang dimaksud adalah motif yang tumbuh dalam diri seorang muslim dalam bentuk ingin selalu hidup sehat dan kuat.
Motif Eksternal
Sedangkan motif eksternal yang dimaksud adalah sebuah motif dari luar diri manusia dalam bentuk ingin memenuhi kebutuhan kenyamanan dari pelakunya dan secara sosiologis ingin mendapatkan penilaian positif (visualitas estetik) dari orang lain atau publik. Motif ini merupakan motif yang secara syar’i termasuk absah dan positif.
Dalam pandangan Islam, perilaku konsumsi mempunyai tujuan yang berbeda dengan tujuan perilaku konsumsi dalam pandangan ekonomi konvensional (yang materialistik) yang hanya ingin memenuhi kebutuhan jasmaniah lahiriah, melainkan di samping memenuhi kebutuhan jasmaniah lahiriah, juga memenuhi kebutuhan rohaniah batiniah. Hal ini dapat diuraikan dalam tujuan-tujuan konsumsi dalam pandangan Islam sebagai berikut:
Dalam perspektif agama Islam misalnya, bahwa motif perilaku konsumsi orang muslim, teristimewa yang memiliki pengetahuan dan wawasan agama serta keimanan yang baik adalah bermotifkan tuntunan perintah agama. Mengingat agama Islam memerintahkan makan, minum, berpakaian, bersilaturahim dan lain-lain agar tidak terjadi kerusakan diri, hal ini ditegaskan dalam Q.S. al-A’raaf (7): 31-32.
Dalam perspektif ilmu kesehatan misalnya, sudah pasti dapat dikatakan bahwa motif perilaku konsumsi seseorang adalah bagaimana senantiasa memiliki kesehatan yang prima. Demikian pula dalam perspektif adat dan budaya, bahwa motif perilaku konsumsi seseorang adalah di samping untuk memelihara kesehatan dan mungkin menjalankan perintah agama, sekaligus juga untuk mempertunjukkan dan memelihara khazanah kearifan lokalnya. Dalam ilmu ekonomi konvensional, menurut Sulistyo disebutkan, bahwa perilaku konsumsi seseorang dipengaruhi oleh faktor internal di dalam diri manusia dan faktor eksternal dari luar diri manusia. Keynes mengemukakan, perilaku konsumsi didorong motif yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang bersifat subyektif, yaitu keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Orang meminta barang dan jasa karena barang dan jasa dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang bersifat material. Tetapi di lain pihak perilaku konsumsi seseorang dapat diimbas ( include ) dari luar melalui iklan-iklan yang gencar dipasang di berbagai media, hal ini dapat memengaruhi keputusan seseorang pada era modern untuk berkonsumsi. Banyak orang membeli barang dan jasa hanya karena tertarik oleh iklan dan sama sekali tidak ada kaitan dengan usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya. Karena itu kata Sulistyo, pengaruh dari luar itu bersifat obyektif, sebab dapat memengaruhi perilaku konsumsi siapa pun juga.
Kedua motif (subyektif dan obyektif) tersebut menggambarkan, perilaku konsumsi seseorang ada yang didorong oleh faktor ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup; dan ada yang didorong oleh faktor non ekonomi, yaitu lebih untuk pemenuhan keinginan hasrat hawa nafsu. Motif subyektif menggambarkan factor ekonomi; dan motif obyektif menggambarkan bukan factor ekonomi, melainkan dipengaruhi oleh faktor psikis, sosiologis dan lain-lainnya. Selain itu kedua motif tersebut menggambarkan pula sebuah indikasi moralitas dan etika. Motif subyektif menggambarkan kualitas moral dan etika yang baik, sedang motif obyektif menggambarkan kualitas moral dan etika yang kurang baik.

Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim ( Konsumsi Dalam Islam ) & Non Muslim ( Konsumsi Konvensional )

Ekonomi Konvensional
( Konsumen Non Muslim ) Ekonomi Islam
( Konsumen Muslim )
Konsumen diasumsikan selalu bertujuan untuk memperoleh kepuasan ( utility ) dalam kegiatan konsumsinya.
1. Tujuan konsumen yaitu mencari kepuasan tertinggi. Penentuan barang dan jasa yang dikonsumsi didasarkan pada kriteria kepuasan.
2. Batasan konsumsi hanya terpaku pada budget constraints (batas anggaran). Sepanjang ada anggaran, maka tidak ada yang bisa menghalanginya untuk mengonsumsi barang yang diinginkan Seorang muslim dalam melakukan konsumsi lebih mempertimbangkan maslahah daripada utilitas. Serta tidak boleh israf.

Menurut Matwally, ada beberapa perbedaan perilaku konsumen Muslin dan Non- Muslim, diantaranya :
1. Seorang konsumen Muslim tidak hanya mencapai kepuasan ( utility ) dari konsumsi barang dan penguasaan barang tahan lama, tapi fungsi utilitasnya juga berpusat sekitar kepuasan yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini berarti kepuasan konsumen Muslim memiliki fungsi sedekah.
2. Jumlah barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh konsumen Muslim berbeda dengan konsumen non-Muslim walaupun barang terssebut sama – sama tersedia.
3. Seorang Muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman.
4. Pendapatan seorang konsumen Muslim dapat dioptimalkan, yaitu pendapatan bersih setelah zakat.
5. Seorang konsumen Muslim harus memperhitungkan konsumsinya dan tidak boleh menghamburkan hartanya.

Tujuan Konsumsi dalam Islam
Dalam Islam tujuan konsumsi bukan semata – mata memenuhi kepuasan terhadap barang ( utilitas ), namun yang lebih utama adalah sarana untuk mencapai kepuasan sejati yaitu kepuasan di akhirat. Kepuasan tidak saja dikaitkan dengan kebendaan tetapi juga dengan rohiah, bahkan kepuasan konsumsi terhadap suatu benda jika kepuasan tersebut bertentangan dengan roh – roh Islam, kepuasan ini harus ditinggalkan. Oleh karena itu, konsumen rasional dalam ekonomi Islam ialah konsumen yang dapat memandu perilakunya supaya dapat mencapai kepuasan maksimum sesuai dengan norma – norma Islam.
Pencapaian maslahah merupakan tujuan dari syari’at Islam ( maqasid syariah ). maqasid syariah menghendaki aktivitas dan tujuan konsumsi adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan beragamanya. Konsumsi dalam Islam mempunyai tingkatan pemenuhan kebutuhan. Islam memberikan norma – norma dan batasan – batasan pada individu dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup mereka. Norma dan batasan ini pada akhirnya yang membentuk pola perilaku konsumsi tertentu bagi individu Muslim yang secara zahir membedakannya dengan perilaku ( lifestyle ) yang tidak memilki roh konsumsi Islam.
Beberapa hal yang melandasi perilaku seorang muslim dalam berkonsumsi adalah berkaitan dengan urgensi, tujuan dan etika konsumsi. Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh sebab itu, sebagian besar konsumsi akan diarahkan kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Pengabaian terhadap konsumsi berarti mengabaikan kehidupan manusia dan tugasnya dalam kehidupan. Manusia diperintahkan untuk mengkonsusmsi pada tingkat yang layak bagi dirinya, keluarganya dan orang paling dekat di sekitamya.
Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu benilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi. Konsep konsumen adalah raja’ menjadi arah bahwa aktifitas ekonomi khususnya produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan kadar relatifitas dari keianginan konsumen, dimana Al-Qur ‘an telah mengungkapkan hakikat tersebut dalam firman-Nya : “Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang” (Muhammad:2).
 Tujuan Materil
Adapun tujuan materil dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam dapat dipahami dari ayat dan hadis berikut:
– Mendatangkan Kesehatan Fisik. Dalam Q.S. al-A’rāf (7): 31
– Menjaga dan Menutup Aurat. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-A’rāf (7): 26 dan 32:
– Memberikan Kenyamanan Hidup.
 Tujuan Spiritual
Adapun tujuan spiritual dari perilaku konsumsi dalam pandangan Islam antara lain sebagai berikut:
1. Pembentukan jiwa syukur akan karunia Allah. Dalam pandangan seorang konsumen muslim (hamba Allah), setiap perilaku konsumsi sesungguhnya merupakan realisasi rasa syukur kepada Allah. Hal itu karena tiga faktor; pertama, dikaruniakan-Nya kemampuan untuk mencari bahan konsumsi seperti makanan; kedua, dikaruniakan-Nya bahan konsumsi yang melimpah; dan ketiga, energi yang didapat sesudah menkonsumsi berbagai bahan makanan, semata-mata dipergunakan untuk mempertebal rasa kesyukurannya kepada Allah. Bahwa seorang konsumen muslim dalam setiap perilaku konsumsinya harus teresap dalam dirinya nilai-nilai syukur.
2. Pembentukan ahli ibadah yang bersyukur. Seorang konsumen muslim yang telah mengonsumsi berbagai barang konsumsi sekaligus mampu merasakannya sebagai nikmat karunia Allah, akan berkontribusi besar dalam mengaksesnya untuk senantiasa menunaikan ibadah dengan berlandaskan atas syukur akan nikmat karunia Allah. Ibadah yang dilakukan berulang-ulang dengan berdasarkan atas rasa syukur akan nikmat karunia Allah, secara otomatis akan membentuk pelakunya menjadi ahli ibadah dengan tingkat kualitas pengamalan ibadah yang paling tinggi nilainya di mata Allah. Allah mengisyaratkan, bahwa dalam melakukan ibadah-ibadah kepadanya, hendaknya didasarkan atas rasa syukur akan nikmat karunia-Nya. Hal ini ditegaskan Allah dalam Q.S. al-Baqarah (2):172.

KESIMPULAN

Perilaku konsumsi semestinya dapat memperhatikan aspek-aspek yang tergolong kebutuhan primer (dharuriyat) kemudian sekunder (hajjiyat) dan trisier (tahsiniyat) sesuai dengan semangat al-maqashid asysyari’ah, sehingga dalam memenuhi kebutuhan seorang konsumen lebih mengedepankan aspek kebutuhan daripada aspek keingingan demi membatasi kebutuhan dan kengingan manusia yang sifatnya senantiasa tidak terbatas.
Dalam pandangan Islam perilaku konsumsi harus menghindari perilaku isrāf dan tabżīr dalam menggunakan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sebagai rambu – rambu dalam konsumsi pangan semestinya manusia secara umum dan muslim secara khusus untuk senantiasa menjaga unsur kehalāl-an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi sebagai langkah untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Perilaku konsumsi dalam ekonomi Islam bertujuan untuk tercapainya aspek materil dan aspek spiritual dalam konsumsi, kedua aspek tersebut akan tercapai dengan menyeimbangkan antara nilai guna total ( total utility ) dan nilai guna marginal ( marginal utility ) dalam konsumsi. Sehingga setiap muslim akan berusaha memaksimumkan nilai guna dari tiap barang yang di konsumsi, yang akan menjadikan dirinya semakin baik dan semakin optimis dalam menjalani hidup dan kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA :

– Al Qur’an dan Al Hadits
– M,M Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, ( Jakarta: Bangkit Daya Insana, 1995)
– Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nst, Marliyah, Rahmi Syahriza, Hadis – Hadis Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2015
– Andi Bahri S. Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 2, Desember 2014: 347-370
– Arif Pujiyono, Jurnal Teori Konsumsi Islam, Vol. 3 No. 2 / Desember 2006: 196 – 207
– M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Qur’an Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. V, ( Bandung: Mizan,1997 )
– M.A. Mannan, Islamic Economics, Theory and Practice, ( Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980 )
– Muhammad Rawwas Qal’ajiv, Mahabis fi al-Iqtisad al-Islamy: Min UUsulihi al-Fiqhiyyah, ( Beirut: Dar an- Nafais, 1991)
– Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktik, ( Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,1997 )
– Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam; Suatu Pengantar (Yogyakarta: Ekonisia, 2002)
– Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1997 )
– Abdullah bin Abdurrahman as-Samarqandiy ad- Darimy, Sunan ad Darimiy, jil. I ( Beirut : Dar al- Fikr,t.t)
– Monzer Kahf, Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)
– Muhammad Nejatullah Siddiqi, The Economic Enterprise, diterjemah oleh Anas Sidik, Kegiatan Ekonomi dalam Islam (Cet. ke-2; Jakarta: Bumi Aksara, 1996)
– AlFitri, “Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan” dalam Majalah Empirika, Vol. XI. No. 01, ( 2007)

yang semestinya memperhatikan unsur ke-halāl-an dan ke-ṭayyiban-an dalam konsumsi, hal ini banyak dikuatkan dengan nash-nash dari Alquran dan hadis sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim di dunia.

 

 

Prinsip Produksi Dalam Islam

KONSEP PRODUKSI
DALAM ISLAM

Kelompok : Teller
Ketua : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi
Anggota :
– Annisa Fitria
– M. Zain Syihab
Semester : I PS ( Unggulan )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

Pengertian produksi

Produksi adalah bagian terpenting dari ekonomi islam disamping konsumsi, distribusi, dan redistribusi. Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Kegiatan produksi dalam ilmu ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan manfaat untuk keperluan pribadi maupun orang lain yang pemanfaatannya untuk waktu sekarang ataupun akan datang. Produksi juga dapat didefinisikan dengan penggunaan atau pemanfaatan sumber daya untuk mengubah suatu komoditas menjadi komoditas lain yang berbeda. Produksi juga tidak terbatas pada pembuatan saja, tetapi juga penyimpanan, distribusi, pengangkutan, pengeceran, pengepakan kembali, upaya – upaya menyiasati lembaga regulator, atau mencari celah hukum demi memperoleh keringanan pajak atau keleluasaan bergerak, dan sebagainya.

Pendefinisian produksi mencakup tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter – karakter yang melekat padanya. Produksi merupakan suatu rangkaian kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempertinggi nilai guna suatu barang untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian di manfaatkan oleh konsumen . Dalam islam, produksi di deskripsikan dengan istilah-istilah yang lebih dalam dan lebih luas . Al-Qur’an menekankan manfaat dari barang yang di produksi.         M.Rawas Qalahji menjelaskan bahwa produksi dalam ( al-intaj ) adalah ijadu sil’atin ( mewujudkan atau mengadakan sesuatu ) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min anashiril intaji dhamina ihtaru zamanin muhaddadin ( pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur – unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas. Adapun Siddiqi mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai keadilan kebajikan/kemanfaatan ( maslahah ) bagi masyarakat . Mannan menekankan pentingnya motif altruisme (altruism) bagi produsen yang Islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan Given Demand Hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep dasar produksi dalam ekonomi konvensional.

Dalam definisi-definisi tersebut di atas terlihat sekali bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya, meskipun definisi-definisi tersebut berusaha mengolaborasi dari perspektif yang berbeda. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral Islam, harus menjadi fokus atau target dari kegiataan produksi. Produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengolah sumber daya menjadi output dalam rangka meningkatkan mashlahah bagi manusia. Produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.
Produksi berkaitan erat dengan dengan bekerja, yaitu suatu aktivitas yang dilakukan seseorang secara bersungguh-sungguh dengan mengeluarkan seluruh potensinya untuk mencapai tujuan tertentu. Al Quran menyebutkan dengan istilah beramal yang merupakan aktualisasi eksistensi diri untuk memelihara kelangsungan hidup, memakmurkan bumi, dan memberi nilai tambah kehidupan. Karena produksi merupakan proses memberi nilai tambah bagi manusia, maka produski haruslah produksi atau amal terbaik ( QS At-Taubah [9]:105 ). Hal ini dikarenakan produksi sebagaimana di kemukakan kahf tidak sekedar upaya untuk meningkatkan materi tetapi juga moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan diakhirat, bukan hanya berorientasi pada keuntungan dunia tetapi juga keuntungan akhirat .

Pentingnya Produksi

Produksi merupakan bagian dari kegiatan ekonomi yang sangat penting dan merupakan titik pangkal dari kegiatan ekonomi. Kegiatan distribusi maupun konsumsi tidak mungkin dilakukan jika tidak ada produksi. Produksi merupakan kegiatan untuk mnghasilkan barang-barang dalam memenuhi kebutuhan hidup, dengan motif yang berbeda-beda. Adam Smith , Bapak Ekonomi Dunia menjelaskan bahwa motif produksi adalah keuntungan sebagaimana dikemukakannya dalam buku The Wealth Of Nation : it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities but of their advantages. Motif lainnya bisa jadi adalah sosial kemanusian, yaitu kegiatan produksi dilakukan kerena adanya manfaat positif dan tidak menimbulkan kerusakan moral ( etika ) bagi masyarakat, atau motif politik yaitu kegiatan produksi yang dilakukan berkaitan dengan adanya kebutuhan Negara atas suatu barang produksi sebagai pendukung ketahanan dan stabilitas pemerintahan. Namun apapun motifnya , produksi merupakan bagian dari aktivitas kerja / amal manusia .
Produksi menurut islam memiliki makna yang sangat luas, yakni melakukan eksplorasi alam semesta dengan tujuan memakmurkan bumi maupun melakukan pekerjaan atau usaha ataupun kegiatan produksi. Islam mewajibkan setiap umatnya untuk mencari rezeki dan pendapatan untuk melangsungkan hidup, memperoleh berbagai kemudahan , dan sarana mendapatkan rezeki atau penghasilan . Dalam ajaran islam manusia diwajibkan untuk berusaha agar mendapatkan rezeki guna memenuhi kebutuhan kehidupannya. Islam juga mengajarkan kepada manusia bahwa Allah Maha Pemurah sehingga rezeki-Nya sangat luas. Bumi dan semua isinya diciptakan sebagai lapangan kehidupan manusia untuk berusaha mencapai dan memenuhi keperluan diri dan masyarakat secaara keseluruhan. Untuk itu, manusia harus bekerja karena kerja adalah fitrah bagi memenuhi kebutuhan. Bahkan, Allah tidak memberikan rezeki itu kepada kaum Muslimin saja, tetapi kepada siapa saja yang bekerja keras. Manusia dapat bekerja dan memproduksi berbagai jenis barang dan jasa selama tidak melanggar garis- garis batasan yang telah ditentukan-Nya.
Menurut Mushtaq Ahmad, islam selain menghormati segala bentuk pekerjaan sekalipun pekerjaan itu terlihat sepele ( memanggul kayu bakar ). Sebaliknya Islam juga mencela individu yang malas berusaha dan menggantungkan hidup pada orang lain. Perilaku menggantungkan diri kepada orang lain menurut Mushtaq merupakan “dosa religius” ( religious sin ), cacat sosial ( social stigma ), dan tindakan yang memalukan. Menurut Jaribah, ada suatu asumsi yang salah dalam ekonomi konvensional yang hanya membatasi produksi pada aktivitas tertentu, karena sesungguhnya produksi meliputi semua aktivitas yang dilakukan oleh seseorang Muslim untuk memperbaiki apa yang di milikinya baik berupa sumber daya alam maupun harta dan dipersiapkan untuk bisa di manfaatkan pelakunya sendiri atau umat Islam.

Tujuan Produksi

Produksi dalam Islam tidak semata – mata hanya ingin memaksimalisasi keuntungan di akhirat. Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam Islam yang bertujuan untuk memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen. Walaupun dalam ekonomi Islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum Islam. Dari beberapa pengertian tersebut, maka tujuan produsen bukan hanya mencari keuntungan maksimum namun bagaimana agar produksi tersebut memberikan maslahah bagi masyarakat. Menurut Najatullah, tujuan produksi dalam Islam yaitu :
a. Memenuhi keperluan pribadi secara wajar.
Tujuan ini tidak dimaksudkan untuk menumbuhkan sikap self interest, karena yang menjadi konsep dasarnya adalah pemenuhan kebutuhan secara wajar, tidak berlebihan tetapi tidak kurang. Tujuan pemenuhan sarana kebutuhan secara wajar menimbulkan dua implikasi.
1. Produsen hanya mengahasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan ( needs ), meskipun belum tentu merupakan keinginan ( wants ) konsumen.
2. Kuantitas produksi tidak akan berlebihan atau kurang, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen sehingga tidak terjadi kemubaziran hasil produksi yang berlebihan atau minus sehingga akan menimbulkan kelangkaan.
b. Memenuhi kebutuhan masyarakat
Tujuan ini berarti bahwa produsen harus proaktif dalam menyediakan komoditas yang menjadi kebutuhan masyarakat, dan terus – menerus berupaya memberikan produk terbaik. Sehingga terjadi peningkatan dalam kuantitas dan kualitas barang yang dihasilkan.
c. Keperluan masa depan
Berorientasi ke masa depan berarti produsen harus terus – menerus berupaya meningkatkan kualitas barang yang dihasilkan melalui serangkaian proses riset dan pengembangan dan berkreasi untuk menciptakan barang – barang baru yang lebih menarik dan diminati masyarakat. Setidaknya produksi dengan orientasi masa depan akan menghasilkan.
1. Barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan sekarang dan mendatang.
2. Kesadaran bahwa sumber daya ekonomi tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi untuk generasi mendatang. Oleh karena itu, orientasi ke depan harus dapat mendorong produsen untuk terus – menerus melakukan riset dan pengembangan guna menemukan berbagai jenis kebutuhan, teknologi terapan yang tepat dan merancang kebutuhan masa depan. Di sisi lain, system efisiensi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Efisiensi dengan sendirinya juga akan senantiasa dikembangkan, sebab dengan cara inilah kelangsungan dan keseimbangan ( sustainability ) pembangunan akan terjaga. Dengan konteks ini, maka produksi yang berwawasan lingkungan ( green production ) akan menjadi konsekuensi logis. Ajaran Islam telah memperingatkan dengan keras kepada para produsen agar tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungan dan sumber daya alam demi keuntungan sesaat, akan tetapi berdampak kemudaratan yang lebih besar dari masyarakat secara keseluruhan.
d. Keperluan generasi yang akan datang.
Islam menganjurkan umatnya untuk memperhatikan keperluan generasi yang akan datang. Produksi dilakukan tidak boleh mengganggu keberlanjutan hidup generasi yang akan datang, pemanfaatan input dimasa sekarang tidak boleh menyebabkan generasi akan datang kesulitan dalam mengakses sumber tersebut, produksi yang dilakukan saat ini memiliki kaitan yang erat dengan kemampuan produksi di masa depan. Jadi, ada semacam inter and ira generation equity ( keseimbangan antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang).
Implikasi dari aktivitas tersebut yaitu tersedianya secara memadai berbagai kebutuhan bagi generasi mendatang. Konsep berkesinambungan ( sustainable development ) yang relatif baru dikembangkan dalam pembangunan ekonomi konvensional pada dasarnya adalah suatu konsep pembangunan yang memberikan persediaan memadai bagi generasi mendatang. Alam ini bukan hanya diperuntukkan bagi manusia di satu masa atau tempat, melainkan untuk manusia di sepanjang zaman hingga Allah menentukan hari pengahabisan alam semesta. Padahal, dalam dunia nyata sering kali terjadi trade off antara kegiatan ekonomi saat ini dengan di masa depan. Misalnya, eksplorasi gas dan minyak bumi secara besar – besaran otomatis akan mengurangi cadangan bagi masa depan, semakin banyak produksi saat ini semakin sedikit cadangan bagi masa depan. Untuk itulah produksi dalam perspektif Islam harus memperhatikan kesinambungan pembangunan ini.
e. Keperluan sosial dan infaq di jalan Allah.
Ini merupakan insentif utama bagi produsen untuk menghasilkan tingkat output yang lebih tinggi, yaitu memenuhi tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Walaupun keperluan pribadi, masyarakat, keperluan generasi sekarang dan generasi yang akan datang telah terpenuhi, produsen tidak harus bermalas – malasan dan berhenti berinovasi, tetapi sebaliknya, memproduksi lebih banyak lagi supaya dapat diberikan kepada masyarakat dalam bentuk zakat, sedekah, infak, dan sebagainya.
Dalam Islam tujuan utama seorang produsen bukan memaksimalisasi laba, melainkan bagaimana agar produksi yang dilakukan mendatangkan manfaat bagi diri sendiri atau orang lain. Karena itu, laba yang diperoleh produsen diarahkan untuk memenuhi kedua hal tersebut. Terkait dalam hal ini, Siddiqi mengembangkan konsep laba berimbang. Laba berimbang adalah tingkat laba yang berada di antara batas laba tertinggi, yaitu tingkat laba yang dibenarkan yang tidak melanggar prinsip dan hukum Islam dan laba terendah, yaitu tingkat laba yang memungkinkan seorang produsen untuk menjalankan perusahaannya. Ringkasnya laba berimbang adalah yang bisa memberikan satisfaction bagi produsen dari sisi perolehan laba serta sisi mempertahankan dan mengembangkan perusahaan dalam bingkai syari’ah.
Tujuan produksi islami yang berbeda dengan tujuan produksi konvensional membawa implikasi yang mendasar bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain :
• Seluruh kegiatan produksi terikat pada tatanan nilai moral dan teknikal yang Islam.
Semua kegiatan produksi mulai dari mengorganisasi faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Menurut Metwally “ perbedaan dari perusahaan – perusahaan non-islam tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan – kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya.” Sebagai contoh, produksi barang dan jasa yang dapat merusak nilai – nilai moralitas dan menjauhkan manusia dari nilai – nilai religius tidak akan dibolehkan. Demikian pula segala aktivitas industry dan semua mata rantainya yang dapat menurunkan nilai kemanusiaan atau yang dilakukan semata – mata keuntungan ekonomi. Ajaran islam melarang konsumsi barang – barang dan jasa yang haram dan merusak, seperti alcohol/khamr dan sejenisnya, daging babi, perjudian, spekulasi, serta riba.
Selain itu islam juga mengajarkan adanya skala prioritas ( darurariyyah, hajiyyah, tahsiniyyah ) dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan ( israf / wastefull ). Oleh karena itu, lima jenis kebutuhan yang menjadi skala prioritas yaitu :
1. Kehidupan ( life, an nafs )
2. Harta material ( property, al maal )
3. Kebenaran ( faith, ad dien )
4. Ilmu pengetahuan ( science, al aql, al ‘ilmu )
5. Kelangsungan keturunan ( posterity, an nasl )
Lima jenis kebutuhan inilah yang seharusnya dihasilkan dalam produksi sehingga produsen tidak akan memproduksi barang dan jasa yang sekedar menjadi sarana pemuas nafsu dari para konsumen, tetapi memproduksi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan riil dalam skala perioritas yang konsisten.
• Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial kemasyarakatan.
Kegiatan produksi harus manjaga nilai – nilai keseimbangan dan harmoni denagn lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat, sehingga terdapat keselarasan dengan pembangunan masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga berhak menikmati hasil produksi secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen ( stock holders ),tetapi juga kepada masyarakat secara keseluruhan ( stakeholder ). Sesungguhnya pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi. System ekonomi Islam memiliki komitmen yang jauh lebih besar terhadap kesejahteraan masyarakat dibandingkan dengan system konvensional.
• Permasalahan ekoknomi muncul bukan saja karena kelangkaan ( scarcity ), tetapi lebih kompleks.
Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, melainkan juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah. Hal ini akan membawa implikasi bahwa prinsip produksi bukan sekedar efisiensi, melainkan secara luas adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Dengan paradigma tersebut, produsen dalam ekonomi islam akan berusaha untuk :
a. Memenuhi keperluan pribadi, keluarga,dan perusahaan.
b. Memberikan bantuan langsung kepada masyarakat melalui zakat dan sedekah.
c. Membantu masyarakat melalui sumbangan tidak langsung, yaitu dalam bentuk memproduksi barang-barang keperluan dasar dalam jumlah yang banyak, dan memproduksi barang-barang kebutuhan sekunder dengan harga yang murah sehingga orang orang miskin dapat memperbesar kuantitas pembelian untuk barang barang tersebut.
d. Mengkaji ulang input-input yang di gunakan untuk menghasilkan barang barang mewah dan menggunakannya untuk mendistribusikan barang barang yang berguna bagi kepentingan masyarakat.
e. Menyediakan barang dengan harga yang relative murah namun berkualitas baik.
Produksi barang dan jasa yang dilakukan seorang muslim untuk memperbaiki apa yang dimilikinya, baik berupa sumber daya alam maupun harta, dan dipersiapkan untuk dimanfaatkan oleh pelakunya sendiri atau oleh umat Islam. Semua system ekonomi sepakat bahwa produksi merupakan poros aktivitas ekonomi, dimana kegiatan konsumsi maupun distribusi tidak mungkin dilakukan tanpa melalui proses produksi. Begitu pentingnya sehingga Umar bin Khattab menilai kegiatan produksi sebagai salah satu bentuk jihad fisabillillah.
Dzibyan al-Asadi datang dari Irak, Umar berkata kepadanya tentang gajinya. Ketika umar di beritahu oleh nya, maka umar menghimbaunya agar sebagian dari gajinya di investasikan sebagai aktivitas yang produktif, dan berkata kepadanya :
“ Nasihatku kepada mu, dan kamu berada di sisiku, adalah seperti nasihatku terhadap orang yang di tempat terjauh dari wilayah kaum Muslimin. Jika keluar gajimu, maka sebagiannya agar kau belikan kambing lalu jadikanlah didaerahmu. Dan, jika keluar gajimu yang selanjutnya, belilah satu atau dua ekor, lalu jadikanlah sebagai harta pokok.”
Maksud dari riwayat ini agar seseorang menjadikan sebagian hartanya untuk modal tetap dalam ekonomi yang produktif. Jika Umar menganggap jika berproduksi adalah bagian dari jihad fisabilillah, segala usaha yang dihasilkan dari produksi dalam Islam juga dinilai sebagai sedekah.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فِيَأْ كُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ أِنَّسَانِ أَوْ بِهِيْمَةٌ أِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَ قَةٌ
“ Dari Anas bin Malik ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “ Tidak – lah seorang muslim pun yang bercocok tanam atau menanam satu tanaman lalu tanaman itu dimakan oleh burung atau manusia atau hewan melainkan itu menjadi sedekah baginya.”
Produksi dalam Islam tidak semata – mata berorientasi pada keuntungan materi saja. Hadis diatas misalnya menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan kegiatan produksi di bidang pertanian bukan hanya memperoleh manfaat berupa hasil pertanian namun juga member manfaat bagi orang lain dengan menyediakan bahan makanan untuk mereka, bahkan makhluk seperti hewan herbivore, karnivora, dan pengurai pun mendapat manfaat dari aktivitas pertanian yang dilakukan petani. Dengan demikian, produksi tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan masyarakat, sesungguhnya Islam juga mengakomodasi motif untuk meraih keuntungan ( Laba ) dari kegiatan produksi. Umar bin Khattab misalnya mengatakan :
“Barangsiapa yang memperdagangkan sesuatu sebanyak tiga kali, namun tidak mendapatkan sesuatu pun di dalamnya, maka hendaklah beralih darinya kepada yang lain.”

Faktor Produksi
Produksi tidak akan dapat dilakukan kalau tidak ada bahan-bahan yang memungkinkan dilakukannya proses produksi itu sendiri. Untuk bisa melakukan produksi, orang memerlukan tenaga manusia, sumber-sumber alam, modal dalam segala bentuknya, serta kecakapan. Jadi, semua unsur yang menopang usaha penciptaan nilai atau usaha memperbesar nilai barang disebut sebagai faktor-faktor produksi. Seorang produsen dalam menghasilkan suatu produk harus mengetahui jenis atau macam-macam dari faktor produksi. Macam faktor produksi secara teori terbagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
1. Sumber Daya Alam
Allah Swt menciptakan alam yang di dalamnya mengandung banyak sekali kekayaan yang bisa dimanfaatkan manusia. Manusia sebagai mahluk Allah hanya bisa mengubah kekayaan tersebut menjadi barang kapital atau pemenuhan yang lain. Menurut ekonomi Islam jika alam dikembangkan dengan kemampuan dan tekhnologi yang baik, maka Alam dan kekayaan yang terkandung di dalamnya tidak akan terbatas. Berbeda dengan pandangan ilmu ekonomi konvensional, yang menyatakan kekayaan alam terbatas karena kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Islam memandang kebutuhan manusialah yang terbatas dan hawa nafsu yang tidak terbatas.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja menentukan kualitas dan kuantitas suatu produksi. Dalam Islam tenaga kerja tidak terlepas dari moral dan etika dalam melakukan produksi agar tidak merugikan orang lain. Dan sebagai tenaga kerja mereka memiliki hak untuk mendapatkan gaji atas kerja yang telah mereka lakukan. Bahkan Allah Swt mengancam tidak akan memberikan perlindungan di hari kiamat pada orang yang tidak memberikan upah pada pekerjanya. Memberikan upah yang layak dalam syariat Islam tidaklah mudah, para ahli memiliki perbedaan pendapat mengenai upah ini, ada yang berpendapat penentuan upah adalah standart cukup, maksudnya sebatas dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ada juga yang berpendapat penentuan upah bergantung pada konstribusi mereka pada produksi. Sebagian berpendapat penentuan upah dengan melihat manfaat yang diberikan dan tidak menzalimi pekerja. Menurut al-Nabani berpendapat penentuan upah berdasarkan keahliannya.
3. Modal
Modal adalah segala kekayaan baik yang berwujud uang maupun bukan uang (gedung, mesin, perabotan dan kekayaan fisik lainnya) yang dapat digunakan dalam menghasilkan output. Pemilik modal harus berupaya memproduktifkan modalnya dan bagi yang tidak mampu menjalankan usaha, Islam menyediakan bisnis alternatif seperti Mudhārabah, Musyārakah, dan lain-lain.
4. Organisasi (manajemen)
Dalam sebuah produksi hendaknya terdapat sebuah organisasi untuk mengatur kegiatan dalam perusahaan. Dengan adanya organisasi setiap kegiatan produksi memiliki penanggung jawab untuk mencapai suatu tujuan perusahaan. Diharapkan semua individu dalam sebuah organisasi melakukan tugasnya dengan baik sesuai dengan tugas yang diberikan. Dalam penjelasan lain yang sedikit berbeda disebutkan bahwa macam faktor produksi adalah:
1. Tanah
2. Tenaga kerja
3. Modal
4. Kecakapan Tata Laksana (Manajemen)
Kecakapan (skiil) yang menjadi faktor produksi keempat ini disebut juga deangan sebutan entrepreneurship. Entrepreneurship ini merupakan faktor produksi yang intangible (tidak dapat diraba), tetapi sekalipun demikian peranannya justru amat menentukan. Seorang entrepreneurship mengorganisir ketiga faktor produksi lainnya agar dapat dicapai hasil yang terbaik. Ia pun menanggung resiko untuk setiap jatuh bangun usahanya.

Prinsip-Prinsip Produksi Dalam Ekonomi Islam
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, di mana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim dilakukan untuk mencari falah (kebahagiaan), demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah tersebut. Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi, yaitu sebagai berikut:
1. Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena sifat Rahmān dan Rahīm-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.
2. Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi Islam tidak membenarkan pemenuhan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan dirinya dari al-Qur’an dan Hadits.
3. Teknik produksi diserahklan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pernah bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
4. Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau kesialan, karena berdalih dengan ketetapan-Nya, sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agamaagama selain Islam. Seseungguhnya Islam mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dalam melaksanakannya. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. Sebagai pemilik hak prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dipenuhi dengan optimal.
Adapun kaidah-kaidah dalam berproduksi antara lain adalah:
1. Memproduksikan barang dan jasa yang halal pada setiap tahapan produksi.
2. Mencegah kerusakan di muka bumi, termasuk membatasi polusi, memelihara keserasian dan ketersediaan sumber daya alam.
3. Produksi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan individu dan masyarakat serta mencapai kemakmuran. Kebutuhan yang harus dipenuhi harus berdasarkan prioritas yang ditetapkan agama, yakni terkait dengan kebutuhan untuk tegaknya akidah/agama, terpeliharanya nyawa, akal dan keturunan/kehormatan, serta untuk kemakmuran material.
4. Produksi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tujuan kemandirian umat. Untuk itu hendaknya umat memiliki berbagai kemampuan, keahlian dan prasarana yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material. Juga terpenuhinya kebutuhan pengembangan peradaban, di mana dalam kaitan tersebut para ahli fiqh memandang bahwa pengembangan di bidang ilmu, industri, perdagangan, keuangan merupakan fardhu kifayah, yang dengannya manusia bisa melaksanakan urusan agama dan dunianya.
5. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia baik kualitas spiritual maupun mental dan fisik. Kualitas spiritual terkait dengan kesadaran rohaniahnya, kualitas mental terkait dengan etos kerja, intelektual, kreatifitasnya, serta fisik mencakup kekuatan fisik, kesehatan, efisiensi, dan sebagainya. Menurut Islam, kualitas rohaniah individu mewarnai kekuatan-kekuatan lainnya, sehingga membina kekuatan rohaniah menjadi unsur penting dalam produksi Islami.

Beberapa Kegiatan Produksi yang Terlarang Dalam Islam
Produksi yang diwajibkan dan dianjurkan Islam adalah produksi / kerja yang baik, produktif dan membawa berkah. Karenanya setiap kegiatan produkasi harus dibarengi dengan sifat yang saleh dan bijak, untuk itu menurut Surtahman, dalam produksi agar tercapai keberkahan dan kesejahteraan, dalam melaksanakan kegiatan produksi haruslah memiliki aqidah yang benar, niat yang benar, pekerjaan yang sesuai dengan tuntutan agama Islam, tidak meninggalkan ibadah wajib yang khusus, dan haksilnya harus mambawa manfaat bagi masyarakat.
Islam melarang beberapa kegiatan produksi yang tidak memberikan manfaat bagi kebaikan hidup manusia. Diantara kegiatan produksi terlarang tersebut yaitu upah penjualan anjing, pelacuran, dan perdukunan. Kegiatan yang didasarkan pada kelacuran bukan hanya tercela, namun juga memberi dampak negatif yang cukup besar dan dapat menghilangkan kesucian manusia, terlebih pelacuran termasuk dalam kategori dosa besar. Kegiatan perdukunan juga dilarang dalam Islam, dalam konteks ekonomi kegiatan perdukunan merupakan wujud ketidakpercayaan seorang produsen terhadap barang yang dihasilkan, ketidakmampuan berkompetisi dengan produsen lain dan menyandarkan keberhasilannya pada satu kekuatan tidak terlihat ( gaib ) sehingga potensial menyebabkan persaingan tidak sehat. Lebih dari itu, kegiatan produksi dengan mengandalkan perdukunan menunjukkan ketidakpercayaan seorang produsen terhadap Allah SWT.
Contoh lain kegiatan produksi yang terlarang dalam Islam yaitu memproduksi atau menjual darah dan penjualan anjing. Anjing adalah hewan yang sudah dikenal dan diharamkan memilikinya dan memanfaatkannya kecuali dalam hal – hal yang dibolehkan syariat, diantaranya anjing penjaga tanaman, anjing penjaga hewan ternak, anjing pemburu, dan anjing penjaga kambing, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a Beliau bersabda yang artinya :
“ Dari Abu Hurairah r.a berkata ; Rasulullah SAW bersabda : “ siapa yang menyentuh anjing berarti sepanjang hari itu dia telah menghapus amalnya sebanyak satu qirath kecuali menyentuh anjing lading atau anjing jinak”
Kegiatan produksi terlarang lainnya yaitu kegiatan produksi yang didasarkan pada riba dan kegiatan menato. Larangan memproduksi barang – barang dan jasa yang haram dan merusak , karena adanya korelasi yang kuat antara produksi dan konsumsi. Produksi dan konsumsi harus mencerminkan kebutuhan yang hakiki bagi manusia, sehingga keberkahan sumber – sumber ekonomi dikaruniakan Allah kepada kaum Muslimin.

Produksi Dalam Konteks Nilai – Nilai Islam
Produksi sesungguhnya merupakan satu rangkaian kegiatan dari ekonomi yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan konsumsi dan distribusi. Ketiganya saling memengaruhi, walaupun produksi merupakan titik awal kegiatan ekonomi. Tidak akan ada kegiatan distribusi maupun konsumsi bila tidak berproduksi, karena hasil dari berproduksi adalah sesuatu yang didistribusikan untuk kemudian dikonsumsi masyarakat. Dari sudut pandang ekonomi, produksi dapat dilihat dari tiga hal yaitu :
1. Apa yang diproduksi ?
2. Bagaimana memproduksinya ?
3. Untuk siapa diproduksi ?
Metwally mengatakan, “perbedaan dari perusahan-perusahan non muslim tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya. Secara lebih rinci nilai-nilai Islam dalam produksi meliputi:
1. Berwawasan jangka panjang, yaitu berorientasi kepada tujuan akhirat;
2. Menepati janji dan kontrak, baik dalam lingkup internal atau eksternal;
3. Memenuhi takaran, ketepatan, kelugasan dan kebenaran;
4. Berpegang teguh pada kedisiplinan dan dinamis;
5. Memuliakan prestasi/produktifitas;
6. Mendorong ukhuwah antarsesama pelaku ekonomi;
7. Menghormati hak milik individu;
8. Mengikuti syarat sah dan rukun akad/transaksi;
9. Adil dalam bertransaksi;
10. Memiliki wawasan sosial;
11. Pembayaran upah tepat waktu dan layak;
12. Menghindari jenis dan proses produksi yang diharamkan dalam Islam.
Penerapan nilai-nilai di atas dalam produksi tidak saja akan mendatangkan keuntungan bagi produsen, tetapi sekaligus mendatangkan berkah.
Produksi merupakan konsep arus, yakni kegiatan yang diukur sebagai tingkat output per unit periode, sedangkan kualitas output diasumsikan konstan. Jadi, bila membicarakan peningkatan produksi, berarti membicarakan peningkatan output dengan mengasumsikan faktor – faktor yang lain konstan ( cateris paribus ). Pemakaian sumber daya dalam suatu proses produksi juga diukur sebagai arus. Modal dihitung sebagai persediaan jasa, misalnya mesin per jam, yang dihitung bukan jumlah mesin secara fisik, melainkan kemampuan mesin menghasilkan output per jam. Maka konsep produksi dalam Islam tidak semata – mata hanya ingin memaksimalkan keuntungan dunia saja, akan tetapi yang lebih penting lagi, untuk mencapai maksimalisasi keuntungan diakhirat.
Dalam teori produksi konvensional, tujuan utama yang ingin dicapai oleh perusahaan adalah memaksimalisasi laba ( maximizing of profit ) dan meminimumkan biaya ( minimizing of cost ). Hal ini disebabkan dalam memperoleh input, perusahaan harus mengeluarkan cost yangkadang – kadang diperoleh melalui investor. Secara umum, investor tidak terlalu memperhatikan perincian kegiatan perusahaan dalam menggunakan pinjaman, tetapi memperhatikan laba yang dihasilkan serta resiko yang dapat menurunkan laba tersebut. Oleh karena itu, perusahaan yang mampu menjanjikan laba lebih besar dengan resiko lebih kecil, pasti lebih mudah memperoleh pinjaman untuk memperbesar produksi.
Dalam upaya memaksimalkan keuntungan, sistem ekonomi konvensional sangat mengutamakan produktivitas dan efisiensi produksi. Sikap ini terkadang menyebabkan para produsen mengabaikan eksternalitas atau dampak yang merugikan dariproses produksi yang biasanya justru menimpa masyarakat sekitar yang tidak ada hubungannya dengan produk yang dibuat. Misalnya pabrik kertas, dalam proses produksinya membuang limbah sehingga mencemari lingkungan di sekitar bangunan pabrik. Karena pencemaran dari limbah pabrik, masyarakat disekitar pabrik yang tidak mendapat manfaat langsung dari kegiatan pabrik tersebut menjadi terkena dampak kesehatan.
Ekonomi konvensional juga kadang melupakan kemana produk mengalir. Sepanjang efisiensi ekonomi tercapai dengan keuntungan yang memadai, pada umumnya mereka sudah merasa puas. Bahwa ternyata produk hanya dikonsumsi oleh sekelompok kecil masyarakat kaya, tidak menjadi keseriusan system ekonomi konvensional. Motif utama konsep produksi yang sangat memaksimalkan keuntungan dan kepuasan yang menjadi pendorong utama sekaligus tujuan dari keputusan ekonomi dalam pandangan ekonomi konvensional, bukannnya salah ataupun dilarang dalam Islam.Islam hanya ingin menempatkan pada posisi yang benar, bahwa semua motif utama dari kegiatan berproduksi yakni dalam rangka memaksimalkan kepuasan dan keuntungan di akhirat.
Namun sebenarnya, wilayah produksi tidaklah sesempit itu, mengejar orientasi jangka pendek dengan laba sebagai titik acuan. Produksi dalam ekonomi Islam sebagaimana dikemukakan kahf tidak sekedar upaya untuk meningkatkan kondisi material tetapi juga moral sebagai sarana untuk mencapai tujuan di akhirat kelak, bukan semata – mata mamaksimalisasikan laba duniawi tetapi juga memaksimalisasi laba ukhrawi. Adapun Mannan menjelaskan, bahwa produksi bertujuan untuk memberikan kesejahteraan kepada manusia sehingga dalam produksi sangat diperlukan motif alturisme bagi produsen. Sementara Siddiqi lebih memfokuskan pada pentingnya sikap produsen untuk berpegang kepada nilai keadilan dan kebajikan / kemanfaatan ( maslahah ) bagi masyarakat. Dalam pandangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat, maka ia telah bertindak Islami. Atau Haq menyatakan bahwa tujuan dari produksi yaitu memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang merupakan fardu kifayah, yaitu kebutuhan yang bagi banyak orang pemenuhannya bersifat wajib. Dengan kata lain, kebutuhan merupakan hal mendasar dan penting bagi masyarakat.
Produsen islam mempunyai kewajiban sosial untuk memaksimalisasi output, bukan memaksimalisasi laba, tentu saja dengan mempertimbangkan penggunaan input dan output yang di hasilkan. Produsen islam yang bijaksana akan lebih berupaya untuk meningkatkan kebaikan dan kemudahan daripada memberikan kesulitan kepada orang lain melalui pengambilan laba berlebihan. Memproduksi dalam jumlah banyak, terutama barang barang keperluan dasar adalah sesuatu yang perlu di apresiasi, karna kuantitas yang banyak akan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan barang barang kebutuhannya, terlebih jika harganya tidak tinggi.

 

Kesimpulan

Secara teknis produksi adalah proses mentransformasi input menjadi output, tetapi definisi produksi dalam pandangan ilmu ekonomi jauh lebih luas. Kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam pada akhirnya mengerucut pada manusia dan eksistensinya yaitu
mengutamakan harkat kemuliaan manusia. Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata rantai yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Kegiatan produksi harus
sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi. Tujuan kegiatan produksi adalah menyediakan barang dan jasa yang bisa memberikan mashlahah maksimum bagi konsumen yang diwujudkan dalam pemenuhankebutuhan manusia pada tingkatan moderat, menemukan kebutuhan.
Dalam konsep ekonomi konvensional (kapitalis) produksi dimaksudkan untuk memperoleh laba sebesar besarnya, berbeda dengan tujuan produksi dalam ekonomi konvensional, tujuan produksi dalam islam yaitu memberikan Mashlahah yang maksimum bagi konsumen.
Walaupun dalam ekonomi islam tujuan utamannya adalah memaksimalkan mashlahah, memperoleh laba tidaklah dilarang selama berada dalam bingkai tujuan dan hukum islam. Dalam konsep mashlahah dirumuskan dengan keuntungan ditambah dengan berkah.

 

Daftar Pustaka :

– Al Qur’an dan Al Hadits
– Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nst, Marliyah, Rahmi Syahriza, Hadis – Hadis Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2015
– Monzer Kahf, Ekonomi Islam,( Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1995)
– M.A Mannan, Islamics Economics: Theory and Practice, ( New Delhi: Idarah-I Adabiyat-I,1970)
– Roger Leroy dan Roger E. Meiner, Teori Mikro Intermediate,( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000)
– Muhammad Rawwas Qal’ahjey, Mahabis fi al- Istisad al – Islami ( Min Usulih al – Fiqhiyah), (Beirut: Dar an-Nafais, 1991)
– Muhammad Nejayullah Siddiqi. “ islamic producer behavior” dalam Syaiful Azhar Rosly, Foundation Of Islamic Economics, ( Malaysia: Kuliyah Of Economics And Management IIU ), 1999
– Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012)
– Adam Smith, An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nations, ( New York: The Modern Library, 1937 )
– Muhammad Mutawalli, Tafsir Sya’rawi, Jilid 6, ( Medan: Duta Azhar, 2007 )
– Mustaq Ahmad, Business Ethics Islam, ( New Delhi: Kitab Bhavan, 1999 )
– Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi Pendekatan kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006)

Paper Distribusi Dalam Islam

DISTRIBUSI DALAM ISLAM

Kelompok : Teller
Ketua : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi

Anggota :
– Annisa Fitria
– M. Zain Syihab Lubis
Semester : I PS ( Unggulan )

images

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

Pengertian Distribusi

Persoalan distribusi merupakan salah satu isu ekonomi yang mendapat respons beragam dari para ekonom. Satu pendapat mengatakan bahwa problem utama ekonomi adalah produksi, sehingga distribusi sangat minim mendapat perhatian ekonom. Namun pendapat lain menjelaskan bahwa persoalan tersebut terletak pada masalah distribusi. Bahkan kesenjangan dan kemiskinan pada dasarnya muncul kerena mekanisme distribusi yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, bukan karena perbedaan kuat dan lemahnya akal serta fisik manusia sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan perolehan kekayaan.
Distribusi merupakan salah satu aktivitas perekonomian manusia, di samping produksi dan konsumsi. Kajian mengenai distribusi senantiasa menjadi diskursus hangat dalam ilmu ekonomi Islam karena pembahasan dalam distribusi ini tidak berkaitan dengan aspek ekonomi belaka, tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menarik perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini (Sudarsono, 2002: 216).
Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah adanya tuntunan agar manusia berupaya menjalani hidup secara seimbang, memperhatikan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Sebagai pra syarat kesejahteraan hidup di dunia adalah bagaimana sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara maksimal dan benar dalam kerangka Islam. Disini, al-Qur’an turut memberikan landasan bagi perekonomian umat manusia. Dorongan al-Qur’an pada sektor distribusi telah dijelaskan pula secara eksplisit. Ayat-ayat distribusi seperti QS. al-Anfal (8): 1, QS. al-Hasyr (59): 7, QS. al-Hadid (57): 7 dan QS. at-Taubah (9): 60 mengandung nilai larangan keras penumpukan harta benda atau barang kebutuhan pokok pada segelintir orang saja. Pendistribusian harta yang tidak adil dan merata akan membuat orang yang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin. Dengan demikian, pola distribusi harus mendahulukan aspek prioritas berdasarkan need assessment.
Dalam usaha untuk memperlancar arus barang atau jasa dari produsen ke konsumen, maka salah satu faktor penting yang tidak boleh diabaikan adalah memilih secara tepat saluran distribusi (channel of distribution) yang akan digunakan dalam rangka usaha penyaluran barang-barang atau jasa-jasa dari produsen ke konsumen.
Distribusi secara bahasa artinya penyaluran (pembagian atau pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat. Adapun secara istilah distribusi adalah kegiatan ekonomi yang menjembatani kegiatan produksi dan konsumsi. Berkat distribusi barang dan jasa dapat sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian kegunaan dari barang dan jasa akan lebih meningkat setelah dapat dikonsumsi, sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan waktu ( saat ) dibutuhkan).
Pengertian distribusi menurut kamus besar bahasa indonesia adalah penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat; pembagian barang keperluan sehari-hari (terutama dalam masa darurat) oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dsb. Sedangkan distrbusi menurut para ahli ekonomi antara lain:
Menurut Winardi (1989:299) Saluran distribusi merupakan suatu kelompok perantara yang berhubungan erat satu sama lain dan yang menyalurkan produk-produk kepada pembeli.
Menurut Warren J. Keegan (2003) Saluran Distribusi adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri. Menurut Assauri (1990: 3) Saluran distribusi merupakan lembaga-lembaga yang memasarkan produk, yang berupa barang atau jasa dari produsen ke konsumen.
Dari pangertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa distribusi merupakan proses penyaluran hasil produksi berupa barang dan jasa dari produsen ke konsumen guna memenuhi kebutuhan manusia, baik primer maupun sekunder. Distribusi merupakan faktor yang tidak dapat dipisahkan dari sistem ekonomi modern, karena dengan distribusi yang baik tersebut dapat tercipta keadilan sosial dalam bidang ekonomi, dari proses inilah semua kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, akan tetapi pada proses ini pula banyak terjadi penyalahgunaan wewenang dan sebagainya sehingga faktor ekonomi tersebut tidak merata atau tepat sasaran.
Kegiatan distribusi akan berjalan dengan lancar jika ditunjang oleh saluran distribusi yang tepat. Saluran distribusi merupakan lembaga-lembaga atau badan yang memasarkan barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen. Lembaga-lembaga atau badan tersebut antara lain pedagang, distributor, agen, makelar, pengecer dan lain-lain. Tujuan dari saluran distribusi adalah untuk mencapai pasar-pasar tertentu. Dengan demikian pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran. Saluran distribusi melaksanakan dua kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu mengadakan penggolongan dan mendistribusikannya.
Pengertian Distribusi Pendapatan / Kekayaan.
Distribusi ( dulah ) secara bahasa berarti perpindahan sesuatu dari satu tempat ke tempat lain, atau sebutan untuk benda yang diputar oleh suatu kaum. Kata tersebut juga berarti harta yang terus diputar ( didistribusikan ) . Adapun menurut istilah mengandung arti pembagian atau penyaluran sesuatu kepada orang atau pihak lain. Teori ekonomi modern tentang distribusi merupakan suatu teori yang menetapkan harga jasa produksi. Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat.
Muhammad Anas Zarqa mengemukakan bahwa distribusi adalah suatu transfer pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran ( melalui pasar ) atau dengan cara lain, seperti warisan, sedekah, wakaf, dan zakat. Menurutnya ada beberapa faktor yang menjadi dasar redistribusi, yaitu : tukar menukar ( exchange ), kebutuhan ( needs ), kekuasaan ( power ), system sosial dan nilai etika ( social system and ethical values). Distribusi juga didasarkan atas kebutuhan seseorang memperoleh upah, karena pekerjaannya dibutuhkan oleh pihak lain. Satu pihak membutuhkan materi untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarga, dan pihak lain membutuhkan tenaga kerja sebagai faktor produksi.
Beberapa kebijakan redistribusi dalam suatu Negara juga sering kali diadopsi dari nilai – nilai sosial yang ada, sebagai contoh :
a. Alokasi pendapatan nasional untuk para tokoh agama dalam suatu masyarakat.
b. Alokasi dana untuk para pejabat public.
c. Alokasi dana untuk institusi soaial.
d. Kebijakan tentang larangan atas transaksi barang – barang yang tidak bermanfaat.

Prinsip Distribusi dalam Ekonomi Islam
Prinsip utama dalam konsep distribusi menurut pandangan Islam adalah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar diantara golongan tertentu saja.
Dalam ajaran Islam dikenal dua macam distribusi, yaitu distribusi secara komersial dan mengikuti pasar dan distribusi yang bertumpu pada keadilan sosial masyarakat. Distribusi komersial melalui proses ekonomi, misalnya gaji, upah, dan keuntungan usaha. Adapun distribusi yang bertumpu pada prinsip keadilan sosial di antaranya melalui warisan, zakat, infak, dan sedekah ( ZIS ). Kebijakan umum ekonomi menurut ajaran Islam adalah keadilan distributive ( QS. al- Hasyr [59]:7 ), yaitu keadilan yang membagi kesejahteraan umum kepada setiap warga Negara sesuai dengan jasa dan kebutuhan masing – masing. Dengan prinsip keadilan ini , Islam menegaskan bahwa segelintir orang tidak dibolehkan menjadi sangat kaya, sementara pada saat yang sama kelompok lain semakin dimiskinkan.
Dalam sistem ekonomi Islam, yang sangat melindungi kepentingan setiap warganya, baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam hal penditribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan (Qardhawi, 1997: 201). Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai oleh nilai-nilai tauhid dan keadilan, tidak seperti pemahaman kaum kapitalis, yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sedangkan keadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an (al-Hasyr: 7) agar harta kekayaan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dalam al-Qur’an disebutkan keadilan adalah tujuan universal yang ingin dicapai dalam keseimbangan yang sempurna (perfect equilibrium). Dalam tafsir al-Qur’an, perintah adil adalah perintah yang paling dianjurkan dan harus diterapkan dalam keseluruhan aspek kehidupan. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ar-Rahman (55): 7-9 yang menekankan tentang keadilan di bidang ekonomi. Lebih lanjut nash al-Qur’an (QS. Al-Hujurat (49), at-Taubah (9), al-Mumtahanah (60): 8, al-Maidah (5): 42, al-Fajr (89): 20 menjelaskan pentingnya keadilan sosial yang tidak hanya mencakup keadilan dalam membagi kekayaan individu melainkan juga kekayaan negara, memberikan kepada pekerja upah yang sesuai dengan jerih payahnya.
Keadilan sosial juga berarti mempersempit jurang pemisah antara individu maupun golongan satu sama lain, dengan membatasi keserakahan orang-orang kaya di satu sisi dan meningkatkan taraf hidup orang-orang fakir miskin di sisi lain.

Dengan demikian, sistem distribusi dalam pandangan ekonomi Islam harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, diantaranya adalah :
• Kebebasan individu,
• Adanya jaminan sosial,
• Larangan menumpuk harta dan
• Distribusi kekayaan yang adil.
Upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan distribusi tidak dapat bertumpu pada mekanisme pasar saja. Karena mekanisme pasar yang mendasarkan pada sistem harga atas dasar hukum permintaan dan penawaran tidak dapat menyelesaikan dengan baik penyediaan barang publik, eksternalitas, keadilan, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam realitas, pasar juga tidak dapat beroperasi secara optimal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat pasar yang kompetitif, seperti informasi asimetri, hambatan perdagangan, monopoli, penyimpangan distribusi, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan adanya peran pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan.
Islam sangat mendukung pertukaran barang dan menganggapnya produktif dan mendukung para pedangang yangg berjalan di muka bumi mencari sebagian dari karunia Allah, dan membolehkan orang memiliki modal untuk berdagang, tapi ia tetap berusaha agar pertukaran barang itu berjalan atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Tetap mengumpulkan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
b) Antara dua penyelenggara muamalat tetap ada keadilan dan harus tetap ada kebebasan ijab kabul dalam akad-akad.
c) Tetap berpengaruhnya rasa cinta dan lemah lembut.
d) Jelas dan jauh dari perselisihan.
Zarqa mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam yaitu :
a. Pemenuhan kebutuhan bagi semua makhluk.
b. Menimbulkan efek positif bagi pemberi.
c. Menciptakan kebaikan diantara semua orang, antara kaya dan miskin.
d. Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
e. Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam.
f. Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian.
Prinsip ekonomi dalam kegiatan distribusi adalah upaya menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen dalam jumlah, mutu, dan waktu yang tepat dengan biaya tertentu.Penerapan prinsip ekonomi dalam kegiatan distribusi adalah sebagai berikut:
1. Menyalurkan barang dengan tepat waktu.
2. Menggunakan sarana distribusi yang murah.
3. MemiIih lokasi perusahaan di antara produsen dan konsumen.
4. Meningkatkan mutu pelayanan.
5. Membeli barang pada produsen yang tepat.

Cara Distribusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam :

1. Distribusi Melalui Warisan
Warisan memainkan peranan yang penting dalam distribusi kekayaan di dalam Islam, dan hukum warisan yang dipakai oleh satu masyarakay akan membentuk pola distribusi kekayaan antara anggota masyarakat tertentu. Masyarakat yang primogeniture yang menjadikan anak sulung mewarisi seluruh harta warisan menyebabkan konsentrasi harta hanya pada sedikit orang. Demikian juga masyarakat yang patrilineal yang hanya membatasi kewarisan pada anak laki – laki, atau masyarakat matrilineal yang membatasi kewaeisan pada anak perempuan menyebabkan distribusi harta menjadi terbatas. Islam mengajarkan adanya warisan tanpa diskriminasi antara laki – laki dan perempuan sehingga penyebaran harta semakin sangat luas.
Dengan warisan Islam ingin memastikan bahwa aset dan kekuatan ekonomi tidak berpusat pada seseorang saja, betapa pun kayanya seseorang, jika seorang bapak meninggal, maka anak, istri, ibu, dan kerabat lainnya akan memperoleh harta peninggalannya. Distribusi kekayaan melalui warisan hanya diberikan kepada orang yang berhak menerima warisan ( ahli waris ), sedangkan kepada orang kafir, Islam tidak membolehkan adanya kewarisan sari seorang Muslim kepada seorang kafir.
Warisan adalah perpindahan hak kepemilikan dari orang yang telahmeninggal dunia kepada ahli waris. Jumhur ulama sepakat bahwa orang kafir tidak dapat mewarisi harta orang Islam, begitu juga orang murtad tidak bisa mewarisi harta orang Islam berdasarkan Ijma’ ( kesepakatan ulama ). Para Fukaha menerngkan bahwa putusnya hubungan warisan antara anak kafir dengan orang tua yang Islam itu dikarenakan asas dasar dari hubungan waris adalah muwalah ( menguasai / hubungan dekat ) dan munasharah ( tolong – menolong ) dan tolong menolong dalam hal ini sudah tidak ada lagi, mmeskipun terdapat hubungan darah diantara mereka, karena sudah dilarang oleh agama.

2. Distribusi Melalui Zakat
Zakat merupakan instrumen Islam yang paling efektif dan esensial yang tidak terdapat dalam sistem kapitalisme maupun sosialisme. Secara ekonomi, zakat berfungsi distributif, yaitu: pendistribusian kembali (redistribusi) pendapatan dari muzakki kepada mustahik serta zakat Mekanisme non-ekonomi diperlukan, baik disebabkan adanya faktor penyebab yang alamiah maupun non-alamiah. Faktor penyebab alamiah, seperti keadaan alam yang tandus atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan tidak dapat berjalan karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi secara normal, sebagaimana orang lain. Jika hal ini dibiarkan saja, orang-orang yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi dan rentan terhadap perubahan ekonomi, yang selanjutnya dapat memicu munculnya problema sosial, seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya (al-Jawi, 2007: 6). memungkinkan adanya alokasi konsumsi dan investasi. Penyaluran zakat akan menimbulkan terjadinya multiplier effect ekonomi pada masyarakat tidak mampu (dhu’afa) berupa peningkatan pendapatan dan daya beli. Sedangkan bagi muzakki akan mendorong motivasi ekonomi yang tinggi untuk senantiasa meningkatkan produktivitasnya agar memperoleh laba dan penghasilan yang tinggi sehingga dapat terus meningkatkan kemampuannya dalam membayar zakat lebih besar lagi dari sebelumnya. Selain itu, zakat juga memiliki fungsi kontrol bagi muzakki dari sifat tamak, keserakahan, rakus dan sifat hedonis yang mengedepankan materi dan kemewahan .
Dengan demikian, pada dasarnya, zakat merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. Zakat merupakan sebuah sistem yang akan menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di antara kelompok kaya (muzakki) dan kelompok miskin (mustahik). Implementasi zakat merupakan komitmen yang kuat dan langkah yang kongkret dari negara dan masyarakat untuk menciptakan suatu sistem distribusi kekayaan dan pendapatan secara sistemik dan permanen. Upaya ini merupakan wujud nyata dari upaya menciptakan keadilan sosial dan mencerminkan komitmen sosial dari ekonomi Islam .

3. Distribusi Melalui Luqathah
Luqathah adalah barang yang tercecer atau barang temuan. Apabila ada seseorang yang menemukannya, maka ia harus mengumumkan secara spesifik harta tersebut selama satu tahun, dan apabila belum ditemukan pemiliknya, maka harta itu boleh dikelola sebagai barang titipan, yang apabila pemiliknya datang maka barang itu harus dikembalikan. Hukum barang temuan dapat berubah – ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemuannya, hukum pengambilan barang temuan antara lain :
a. Wajib
Hukum mengambil luqathah adalah wajib, jika luqathah ditemukan di tempat yang tidak aman ( QS at- Taubah [9] :71 ), sebab sebagai kaum mukminin wajib menjaga kekayaan sebagian kaum Mukminin lainnya.
b. Sunah
Apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda – benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya, namun apabila tidak diambil pun barang – barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia – sia.
c. Makruh
Imam Malik dan kelompok Hanabilah juga sepakat bahwa memungut barang temuan itu hukumnya makruh, alasannya yaitu karena seseorang tidak boleh mengambil harta saudaranya serta dikhawatirkan orang yang mengambil itu bersifat lalai menjaga atau memberitahukannya.
d. Haram
Bagi penemu yang mengetahui bahwa dirinya sering terkena penyakit tamak dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang – barang tersebut. Serta haram, apabila barang tersebut ditemukan di Mekkah. Dan memiliki niat untuk memilikinya.
e. Jaiz atau Mubah
Jika ditemukan selain ditanah haram Mekkah. Serta bagi penemunya harus memilih apakah memungut luqathah tersebut untuk dijaga dan dimilikinya setelah diumumkan, atau membiarkannya .

4. Distribusi Melalui Pemberian Hibah
Salah satu perpindakan hak milik menurut pandangan Islam adalah Hibah. Dengan menghibahkan suatu benda berarti keluarlah sesuatu ( harta ) dari wahib ( yang menghibahkan ) dan berpindah ke dalam milik Mawhhub lah ( yang menerima hibah ). Dua hal yang harus dicapai oleh Hibah :
1. Dengan beri – memberii akan menimbulkan suasana akrab dan kasih saying diantara sesame manusia serta akan mempererat hubungan silaturahmi. Adapun menyambung dan mempererat silaturahmi adalah salah satu ajaran Islam.
2. Terbentuknya kerja sama dalam berbuat baik, baik dalam menanggulangi kesulitan sesama manusia maupun dalam membangun lembaga – lembaga sosial.menanggulangi kesulitan sesame misalnya dengan merelakan utang kepada orang yang sedang terlilit utang yang sulit untuk membayarnya.
5. Distribusi Melalui Waqaf
Wakaf merupakan salah satu instrument penting dalam distribusi kekayaan di dalam Islam yang lahir dari pokok yang produktif dari pemiliknya kepada pihak atau individu yang lain, dan dapat diambil kemanfaatannya secara terus menerus selama pokoknya yang masih produktif masih ada. Dari segi kemanfaatan , wakaf memiliki cakupan kemanfaatan yang sangat luas, dapat digunakan untuk konsumsi maupun produksi dan jasa, dan orang yang memanfaatkannya bukan hanya golongan tertentu, namun semua umat manusia baik keluarga, masyarakat, bahkan semua umat.

Tujuan Distribusi & Fungsi Distribusi Dalam Islam

Persoalan distribusi berhubungan erat dengan pertanyaan :
– Untuk siapa produksi ?
– Bagaimana produksi didistribusikan di antara faktor – faktor produksi yang berbeda – beda ?
– Bagaimana mengatasi problem ketidaksamaan sebagai akibat dari distribusi ?

Ini merupakan tiga pertanyaan utama yang dihadapi oleh setiap masyarakat dengan system ekonomi apa pun yang menjadi anutannya. Distribusi sebagaimana dirujuk oleh istilah dulah dalam Al- Qur’an ( QS. al- Hasyr [59]:7 ) merupakan landasan pentingnya peredaran harta, kekayaan, dan pendapatan agar tidak terkonsentrasi di tangan orang-orang tertent yang sudah kaya atau berkecukupan secara ekonomi. Di samping pernyataan langsung tentang perlunya pendapatan dan kekayaan didistribusikan sehingga tidak terjadi konsentrasi, Al- Qur’an juga menjelaskan tiga macam tindakan yang mencegah terjadinya proses distribbusi yang adil, yakni larangan menimbun harta ( al- iktinaz ), bermegah – megahan yang melalaikan ( al- takasur QS. at- Takaatsur 102 :1 ), dan celaan atas penumpukan harta dan terlalu “ perhtungan” ( jama’a mal wa’addadah / QS. al – Humazah [ 104 ]: 1-2),.

Tujuan ditribusi dalam Islam adalah :
1. Mennyatukan hati manusia dalam kebaikan dan kebenaran dari nilai – nilai ilahiah sehingga mereka semakin taat kepada pencipta-Nya.
2. Membersihkan dan mensucikan manusia dari sifat serakah, tamak, egois, dan individualis.
3. Membangun kesetiakawanan sosial dan kebersamaan, menjalin ikatan cinta kasih saying dan mengikis sebab – sebab kebencian dalam masyarakat.
4. Tujuan ekonomi yaitu pengembangan harta, memeberdayakan sumber daya manusia, mewujudkan kesejahteraan ekonomi serta pemanfaatan sumber – sumber ekonomi secara efektif dan berdaya guna.
5. Mennghindari kegiatan spekulatif dan kezaliman dalam distribusi pendapatan dan kekayaan.
Tujuan kegiatan distribusi yang dilakukan oleh individu atau lembaga ialah sebagai berikut:
1. Menyampaikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen. Barang atau jasa produksi tidak akan ada artinya bila tetap berada di tempat produsen. Barang atau jasa tersebut akan bermanfaat bagi konsumen yang membutuhkan setelah ada kegiatan distribusi.
2. Mempercepat sampainya hasil produsen kepada konsumen. Tidak semua barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen dapat dibeli secara langsung dari produsen. Ada barang barang atau jasa jasa tertentu yang memerlukan kegiatan penyaluran atau distribusi dari produsen ke konsumen agar konsumen mudah untuk mendapatkanya.
3. Tercapainya pemerataan produksi.
4. Menjaga kesinambungan produksi. Produsen atau perusahaan membuat barang dengan tujuan dijual untuk memperoleh keuntungan. Dari hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk melakukan proses produksi kembali sehingga kelangsungan hidup perusahaan tetap terjamin.
5. Memperbesar dan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.
6. Meningkatnya nilai guna barang atau jasa.

Untuk merealisasikan distribusi yang adil, maka perlu diupayakan adanya politikdistribusi yang mencakup beberapa hal yaitu :
1. Aturan kepemilikan
Baik yang terkait dengan kepemilikan pribadi maupun kepemilikan umum.
2. Distribusi pemasukan
Yaitu pembagian berdasarkan tugas dan tanggung jawab, besarnya gaji atau upah dan tingkat kesejahteraannya, model pembagian hasil dari modal baik modal uang maupun modal barang, serta pemanfaatan tanah.
3. Jaminan sosial
Yaitu tanggung jawab penjaminan yang harus dilaksanakan oleh masyarakat dan Negara tehadap individu – individu yang membutuhkan dengan cara memenuhi kebutuhan mereka dan menghindari keburukan mereka, yaitu tidak merealisasikan kebutuhan mereka. Jaminan sosial ini merupakan tanggung jawab pemerintah serta mayarakat secara umum terutama yang memiliki kecukupan. Oleh karena itu perlu segera diwujudkan solusi system distribusi yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan lahir batin bagi setiap manusia,baik pada tingkat individu,kelompok maupun Negara, yaitu system distribusi yang sesuai syariah.
Semua pribadi dalam masyarakat harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar dapat kita liha beberapa tujuan ekonomi islam yaitu sebagai berikut :
1. Islam menjamin kehidupan tiap pribadi rakyat serta menjamin masyarakat agar tetap sebagai sebuah komunitas yang mmampu memenuhi kebutuhan hidupnya,
2. Islam menjamin kemaslahatan pribadi dan melayani urusan jamaah, serta menjaga eksistensi negara dengan kekuatan yang cukup sehingga mampu memikul tanggung jawab perekonomian negara.
3. Mendistribusikan harta orang kaya yang menjadi hak fakir miskin, serta mengawasi pemanfaatan hak milik umum maupun Negara.
4. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan berdasarkan jalan Allah agar tercapai maslahah bagi seluruh masyarakat.
Adapun fungsi utama distribusi adalah:
1. Pengangkutan (Transportasi)
2. Penjualan (Selling)
3. Pembelian (Buying)
4. Penyimpanan (Stooring)
5. Pembakuan Standar Kualitas Barang
6. Penanggung Risiko

Faktor – Faktor Distribusi

– Faktor mikro, yaitu perantara pemasaran, pemasok, pesaing dan masyarakat.
– Faktor makro, yaitu demografi / ekonomi, politik / hukum, teknologi / fisik dan sosial / budaya.
Faktor yang mempengaruhi produsen memilih dan menentukan saluran distribusi, yakni:
1. Sifat barang dan jasa yang diperjualkan.
2. Daerah penjualan.
3. Modal yang disediakan, yang terkait dengan hak dan kewajiban dalam perjualan
4. Alat komunikasi.
5. Biaya angkutan.
6. Keuntungan.

Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan untuk pemasaran : Dari sudut pandang penjual :
– Tempat yang strategis (place),
– Produk yang bermutu (product),
– Harga yang kompetitif (price), dan
– Promosi yang gencar (promotion).
Dari sudut pandang konsumen :
– Kebutuhan dan keinginan konsumen (customer needs and wants),
– Biaya konsumen (cost to the customer),
– Kenyamanan (convenience), dan
– Komunikasi (comunication).
Dari apa yang sudah dibahas di atas ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, bahwa pembuatan produk atau jasa yang diinginkan oleh konsumen harus menjadi fokus kegiatan operasional maupun perencanaan suatu perusahaan. Pemasaran yang berkesinambungan harus adanya koordinasi yang baik dengan berbagai departemen (tidak hanya di bagian pemasaran saja), sehingga dapat menciptakan sinergi di dalam upaya melakukan kegiatan pemasaran.

Nilai – Nilai Dalam Distribusi Ekonomi Islam :

Dalam menjalankan disrtibusi ada beberapa nilai yang ada diantaranya:

1) Akidah
Akidah mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai dampak yang kuat dalam cara berpikir seseorang. Akidah begitu kuat pengaruhnya sehingga dapat mengendalikan manusia agar mau mengikuti ajaran yang diembannya. Dan dalam hal ini bagi umat Islam harus senantiasa ber aqidah atas kepercayaannya kepada Allah SWT.

2) Moral
Disini moralitas menunjuk kepada perilaku manusia itu sendiri. Hukum yang berlaku pada moralitas berbeda dengan hukum formal. Pada hukum formal memberi sanksi jika melanggar. Akan tetapi hukum moral tidak tetapi menembus kedalam sehingga melihat hal yang bersifat niatnya saja. Misalnya dalam kasus orang yang bersedekah, hukum moral memandang niat dari sedekah ini. Jika niatnya baik demi menolong orang yang lemah maka sedekah ini baik dan berarti pula sama persis dengan nilai moral. Tapi jika niatnya jelek hanya untuk riya’ maka sedekah demikian dianggap salah dan divonis sebagai tindakan yang tidak berakhlakul karimah.

3) Hukum Syariah
Dengan adanya hukum syariah agar dalam menjalankan kegiatan ekonomi ada batasannya yaitu sesuai dengan jalan Al-Quran dan sunnah serta Ijtihad.

4) Keadilan
Keadilan merupakan nilai yang paling asasi dalam ajaran islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul-Nya. Dengan berbagai muatan adil tersebut secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-Quran, maka hal ini bisa diturunkan menjadi berbagai nilai turunan yaitu:

a) Persamaan Kompensasi
Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum yaitu seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan . Komponen yang ada dalam kompensasi tersebut antara lain: upah dan ongkos.
b) Persamaan Hukum
Persamaan hukum disini memberikan makna bahwa setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap seseorang didepan hukum atas dasar apapun juga. Dalam transaksi ekonomi tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan yang lain karena kondisi yang berbeda. Kesejahteraan dan hasil pembangunan harus didistribusikan kepada orang dan tidak mengumpul pada kelompok tertentu.
c) Proporsional
Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsinal, baik dari sisi kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab ataupun kontribusi yang telah diberikan seseorang. Suatu distribusi yang adil tidak selalu harus merata, namun tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada, mereka yang ukurannya besar perlu memperoleh besar dan yang kecil memperoleh jumlah yang kecil pula.

Etika distribusi dalam ekonomi Islam
1. Selalu menghiasi amal dengan niat ibadah dan ikhlas.
2. Transparan dan kondisi barangnya halal serta tidak membahayakan.
3. Adil dan tidak mengerjakan hal-hal yang dilarang dalam Islam.
4. Tolong menolong, toleransi dan sedekah.
5. Tidak melakukan pameran barang yang menimbulkan persepsi.
6. Tidak pernah lalai ibadah karena kegiatan distribusi.
7. Larangan ihtikar. Ihtikar dilarang karena akan menyebabkan kenaikan harga.
8. Mencari keuntungan yang wajar. Maksudnya kita dilarang mencari keuntungan yang semaksimal mugkin yang biasanya hanya mementingkan pribadi sendiri tanpa memikirkan orang lain.
9. Distribusi kekayaan yang meluas. Islam mencegah penumpukan kekayaan pada kelompok kecil dan menganjurkan distribusi kekayaan kepada seluruh lapisan masyarakat.
10. Kesamaan sosial. Maksudnya dalam pendistribusian tidak ada diskriminasi atau kasta-kasta, semuanya sama dalam mendapatkan ekonomi.

 

KESIMPULAN

Sistem ekonomi Islam menawarkan sistem penditribusian ekonomi yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan yang disandarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan. Sistem distribusi ini menawarkan mekanisme dalam sistem distribusi ekonomi Islam, yaitu mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi, dengan melibatkan adanya peran pemerintah dalam aktivitas ekonomi produktif dan non-produktif, sehingga dapat mewujudkan keadilan distribusi.
Produksi, distribusi dan konsumsi dalam ekonomi mempunyai tujuan yang muaranya sama yaitu memenuhi kebutuhan dan memberi kepuasan. Sementara jika ditinjau dari kacamata Islam maka ketiga aktivitas tersebut bukan sekedar dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan berlangsungnya siklus ekonomi, melainkan juga menjadi sarana ketaatan pada Allah Swt. Serta lebih mengutamakan Maslahah + Falah + Berkah.

 

DAFTAR PUSTAKA

– Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: Dana Bhakti , 1996).
– Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai   Pustaka, 1989).
– Hendi Suhendi , Fiqh Muamalah, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002) .
– Ibn Rusyd, Bidayah al mujtahid, Jilid II, ( Beirut : Dar Ihya at-Turas al- Arabi, 1997).
– Isnaini Harahap, Yenni Samri Juliati Nst, Marliyah, Rahmi Syahriza, Hadis – Hadis Ekonomi, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2015.
– Jusmaliani, dkk., Kebijakan Ekonomi dalam Islam, ( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.).
– Muh. Anas Zarqa, “ Islamic Distributive Scheme” dalam Munawar Iqbal , Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economiy, ( Islamabad: International Institute of Islamic Economic, 1986).
– Muhammad Syarif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam, ( Jakarta : Kencana , 2012).
– Misanam, Munrokhim, dkk. Ekonomi Islam. ( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada thn 2008 ).
– M.A. Mannan, Teori dan praktik Ekonomi Islam , ( Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995).
– Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII) dan Bank Indonesia, Ekonomi Iskam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).
– QS. Al- Hasyr [ 59 ]:7,. QS. Ali Imran [ 3 ] :3
– Sayyid Sabiq, Fiqh al- sunnah, jilid 3, ( Beirut: Dar al- Fikr, 1983)
– Taqiyuddin an – Nabhani . Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Terj. Moh. Maghfur Wachid ( Surabaya : Risalah Gusti, 1996)
– Zaki Fuad Chalil, Pemerataan Distribusi Kekayaan dalam Ekonomi Islam, ( Jakarta,: Erlangga, 2009).

– Islam & Problematika Ekonomi – Landasan Aqida , Moral & Yuridis Dalam Pengembangan Ekonomi Islam

PENGANTAR EKONOMI ISLAM
“ Islam Dan Problematika Ekonomi ”
&
“ Landasan Aqidah, Moral & Yuridis Dalam Pengembangan Ekonomi Islam”
DISUSUN
O
L
E
H
Kelompok : Teller

Ketua : Budi Wijaya
Sekretaris : Siti Zubaida
Bendahara : Ratih Abdi Pratiwi

Anggota :
• M. Zein Syihab
• Annisa

Semester : I PS ( Unggulan )
Dosen : Ahmad Fauzul Hasibuan

images

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
JAM’IYAH MAHMUDIYAH (STAI-JM)
TANJUNG PURA-LANGKAT
2016

ISLAM & PROBLEMATIKA EKONOMI

Islam adalah sebuah agama yang bersifat komprehensif, yang mengatur seluruh kehidupan insan, baik daripada sudut Aqidah, Ibadah, Akhlak maupun Muamalah. Antara ilmu yang tidak kurang pentingnya dalam Islam ialah ilmu Ekonomi Islam, atau dalam Bahasa Arabnya disebut sebagai Iqtisod Islami. Hampir ribuan Ulama Islam telah mengarang berbagai kitab yang menyentuh masalah yang berkaitan dengan Muamalah umumnya, dan Ekonomi Islam khususnya.
Islam memiliki seperangkat aspek dan nilai yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Dalam hal ini tujuan islam pada dasarnya ingin mewujudkan kebaikan hidup dunia dan akhirat. Selain itu, permasalahan ekonomi yang merupakan bagian dari ajaran Islam, memiliki tujuan yang sama yakni tercapainya maslahah di dunia dan akhirat.
Menurut Muhammad Rawasi Qal‘aji dalam bukunya yang berjudul Mabahis Fil Iqtisad Al-Islamiyah menyatakan bahwa tujuan ekonomi Islam pada dasarnya dapat dijabarkan dalam 3 hal, yakni :
1. mewujudkan pertumbuhan ekonomi
2. mewujudkan kesejahteraan manusia
3. mewujudkan sistem distribusi kekayaan yang adil.
Ekonomi dalam Islam adalah ilmu yang mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah (kedamaian & kesejahteraan dunia-akhirat).

Ciri-Ciri Sistem Ekonomi Islam:
1. Harta kepunyaan Allah dan manusia merupakan khalifah atas harta.
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa semua harta yang ada di tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah, karena Dialah yang menciptakannya. Akan tetapi Allah memberikan hak kepada manusia untuk memanfaatkannya. Namun pemanfaaannya tidak boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi kepemilikan dalam Islam tidak mutlak.
2. Ekonomi terikat dengan akidah, syariah dan moral.
Yaitu setiap kegiatan ekonomi akan bernilai ibadah dengan mengikuti atura yang telah ditetapkan dalam Islam.
3. Keseimbangan antara kerohanian dan kebendaan
Maksudnya adalah bahwa apa saja yang kita lakukan di dunia ini hakikatnya adalah untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
4. Ekonomi Islam menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum.
Artinya kegiatan ekonomi yang dilakukan seseorang untuk mensejahterakan dirinya tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat umum.

5. Kebebasan individu dijamin dalam Islam
Dalam Islam diberikan kebebasan individu namun tidak boleh melanggar aturan-aturan Allah, dengan kata lain kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak.
6. Negara diberi wewenang turut campur dalam perekonomian
Dalam Islam Negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidak adilan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok. Negara berkewajiban memberikan jaminan sosial agar seluruh masyarakat dapat hidup secara layak.
7. Bimbingan konsumsi
Artinya di dalam Islam ada ketentuan mana yang halal dan haram untuk dikonsumsi dan juga perilaku yang baik dan tidak baik.
8. Petunjuk Investasi
Dalam Islam ada kriteria untuk dapat melakukan investasi yaitu:
a. Proyek yang baik menurut Islam
b. Memberikan rezeki seluas mungkin kepada masyarakat
c. Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan dan kekayaan.
d. Memelihara dan mengembangkan harta
e. Melindungi kepentingan anggota masyarakat

9. Zakat
Adalah karakteristik yang paling istimewa, karena tidak dimiliki oleh sistem ekonomi konvensional. Dalam hal ini ada konsep dalam harta kita ada hak orang lain dan hukumnya harus kita sisihkan.
10. Larangan riba
Dalam Islam sangat tegas dikatakan bahwa riba adalah haram. Untuk itu harus dihidupkan ekonomi pada sektor riil.
Tujuan Ekonomi Islam :
Tujuan Ekonomi Islam berdasarkan konsep dasar dalam islam yaitu tauhid dan berdasarkan rujukan pada Alquran dan Sunnah adalah :
1. Pemenuhan kebutuhan dasar manusia yaitu papan, sandang, pangan kesehatan dan
pendidikan untuk setiap lapisan masyarakat.
2. Memastikan kesamaan kesempatan bagi semua orang.
3. Mencegah terjadi pemusatan kekayaan dan meminimalkan ketimpangan dana distribusi pendapatan dan kekayaan di masyarakat.
4. Memastikan untuk setiap orang kebebasan untuk mematuhi nilai-nilai moral.
5. Memastikan stabilitas dan juga pertumbuhan ekonomi.

Problematika Ekonomi

Kemiskinan merupakan problematika ekonomi yang dialami hampir seluruh Negara muslim di dunia. Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah /problematika tidak terpenuhinya kebutuhan – kebutuhan primer secara menyeluruh. Sejak dahulu hingga sekarang, syariat islam telah menentukan kebutuhan primer itu ( yang menyangkut eksistensi manusia ) berupa tiga hal yaitu :
1. Sandang
2. Pangan
3. Papan
Karenanya pembangunan dan setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan.
Ekonomi Islam tidak melihat suatu kesalahan bagi pemerintah untuk membiayai pembangunan ekonomi dengan sistem pembiayaan anggaran defisit. Cara ini, dapat dilakukan oleh pemerintah dengan cara menciptakan / mencetak uang (money creation) di bawah otoritas Bank Sentral (Bank Indonesia). Namun, dalam menciptakan uang, ekonomi Islam mensyaratkan agar uang itu hendaklah disalurkan pada sektor-sektor produktif.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah yang masing-masing berbunyi: “Apabila seorang Islam menanam sebatang pohon atau mengusahakan sebidang tanah, lantas seekor burung atau manusia atau binatang memakan hasil tanaman tersebut, niscaya amalan tersebut dikira sebagai sedekah” (H.R. Bukhari); dan “Orang yang menjual rumah (tanpa keperluan), tetapi tidak menginvestasikan hasilnya dalam sesuatu yang setaraf dengannya, niscaya Allah SWT tidak akan memberkati hasil itu”(H.R. Thabrani).
Inilah yang menyebabkan ekonomi Islam dianggap lebih memungkinkan untuk mengatasi problematika ekonomi di bandingkan dengan ekonomi ribawi yang sering menciptakan uang tanpa memerhatikan apakah uang itu disalurkan pada sektor-sektor produktif atau tidak. menciptakan uang dan kemudian menyalurkan pada sektor-sektor produktif, akan mendorong naiknya tingkat produktivitas ekonomi sehingga akan meningkatkan jumlah produk dan jasa yang tersedia dalam masyarakat. Dengan adanya keseimbangan antara jumlah uang dengan jumlah barang dan jasa yang beredar dalam masyarakat, maka inflasi tidak akan terjadi.
Sebab inflasi terjadi, diantaranya, disebabkan oleh terbatasnya jumlah barang dan jasa yang tersedia di pasar sementara jumlah uang yang beredar dalam masyarakat terlalu banyak sehingga mengakibatkan semakin mahalnya harga barang dan jasa di pasar. Inilah sebenarnya ciri khas ekonomi Islam lainnya, yaitu ekonomi dengan tingkat inflasi nol (zero-inflation).
Dalam permasalahan ekonomi (problematika ekonomi), manusia memiliki tujuan dan cara yang berbeda-beda, tergantung tujuan masing-masing individu, bukan tergantung pada kebenaran yang ingin mereka ikuti dan kemaslahatan umum yang ingin mereka realisasikan. Akibatnya, mereka menyimpang dari jalannya. Karena tidak mau terikat dengan petunjuk-petunjuk agama Islam.
Pembangunan ekonomi sesungguhnya bertujuan untuk mengatasi problematika ekonomi, menciptakan kesejahteraan, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya. Pembangunan ekonomi didefinisikan oleh Iqbal sebagai proses untuk mengurangi kemiskinan serta menciptakan ketentraman, kenyamanan, dan tata susila dalam kehidupan ( the prosess of alleviating poverty and provision of ease, comfort, and decency in life). Pemerataan hasil – hasil pembangunan biasanya dikaitkan dengan masalah kemiskinan. Secara logika, jurang pemisah ( gap ) yang semakin lebar antara kelompok penduduk kaya dan miskin berarti kemiskinan semakin meluas, dan sebaliknya jika gap tersebut menyempit berarti kemiskinan semakin berkurang.
Untuk mengatasi problematika ekonomi , pembangunan ekonomi memegang peranan yang sangat penting bagi suatu Negara. Walaupun istilah pembangunan ekonomi tidak dikenal dalam masa islam awal, tetapi Rasulullah sangat menjunjung tinggi ekonomi rakyat, suka melihat umat islam hidup berkecukupan daripada dalam keadaan miskin dan kelaparan, dan sangat menginginkan umatnya pada level tertinggi pembangunan ( tidak mengalami problematika ekonomi ).
Salah satu cara menghadapi problematika ekonomi tidak terlepas dari peranan sumber daya dalam pembangunan, yang merupakan sesuatu yang tidak diperdebatkan karena sumber daya alam adalah input yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi sesuatu yang baru. Nabi Muhammad SAW Menyadari, bahwa pembangunan tanpa penggunaan sumber daya ekonomi secara efisien dan efektif tidak mungkin terlaksana.
Untuk memecahkan problematika ekonomi ( masalah – masalah ekonomi ) didalam ekonomi islam terdapat beberapa solusi antaranya :

1. SifatQona’ah
Qona’ah atau berpuas diri adalah suatu konsep yang diutarakan oleh Islam untuk mengatasi sifat manusia yang tidak pernah puas. Dengan didasari nilai-nilai Islam, maka sifat qona’ah dapat mengatasi permasalahan ekonomi (problematika
ekonomi) yang ada. Problematika ekonomi biasanya dikaitkan dengan tiga pertanyaan dasar, yaitu apa yang diproduksi, bagaimana memproduksi, dan untuk siapa sesuatu itu diproduksi. Pertanyaan-pertanyaan itu muncul karena adanya keyakinan bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia itu terbatas.
2. KonsepMaslahah
Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik material maupun non material yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dengan maslahah, maka seorang manusia akan menggunakan sumber daya yang ada sesuai dengan maslahah manusia itu sendiri.
Contoh-contoh penerapan maslahah pada kasus ekonomi antara lain:
• Pendirian Bank Islam
• Pendirian Asuransi/Reasuransi Syariah dan LKS lainnya
• Penerapan revenue sharing dalam bagi hasil
• Penerapan Dinar dan Dirham
• Kartu Kredit tanpa bunga
• Intervensi Harga oleh Pemerintah pada saat distorsi pasar
• Larangan Ihtikar dan monopoli
• Larangan kartel dalam perdagangan
• Larangan spekulasi, judi dan gharar
• Larangan tas’ir (penetapan harga oleh pemerintah )
• Larangan siyasah ighraq (dumping)
• Larangan future trading, options dan swaps
• Pendirian lembaga Pengadilan Niaga syariah
• Adanya DPS di LKS dan DSN di MUI
• Dan lain-lain

Secara umum tujuan pembangunan ekonomi Islam adalah terpenuhi dan terpeliharanya maqasid syari’ah ( agama, jiwa, akal, keturunan dan harta ), sehingga tercapai falah atau kesejahteraan dunia dan akhirat. Muhammad Akram Khan secara detail menjelaskan bahwa falah meliputi :
– Kelangsungan hidup
– Kebebasan berkeinginan
– Serta kekuatan dan harga diri dengan beberapa aspek yang harus dipenuhi baik secara mikro maupun makro dengan berbagai sudut pandang.
Dalam konteks keduniawian ( pembangunan ekonomi ), tecapainya falah ditandai dengan wujudnya Negara yang makmur dan sejahtera dimana semua penduduk memiliki akses untuk memenuhi berbagai kebutuhannya sehingga memperoleh kenyamanan hidup ( hayatan tayyiban ) dalam suatu Negara.
Zakat
Zakat adalah karakteristik yang paling istimewa, karena zakat adalah sistem ekonomi dalam islam dan tidak dimiliki oleh sistem ekonomi konvensional. Dalam hal ini ada konsep dalam harta kita yang menjadi hak orang lain dan hukumnya harus kita sisihkan.
Sebagai orang kaya hendaklah memperhatikan orang – orang miskin, dengan member sedikit dari hartanya. Ini adalah solusi terbaik dari Allah SWT Yang dalam mengatasi problematika ekonomi yang sering mencuat di tengah masyarakat.
Permasalahan ekonomi ( Problematika Ekonomi ) di Indonesia yang sejak dulu sulit untuk diselesaikan:
1. Rendahnya pertumbuhan ekonomi
Rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia ini dapat dipengaruhi oleh naiknya harga minyak dunia.
2. Kemiskinan
Berkurangnya pendapatan masyarakat secara riil dapat menyebabkan tingginya tingkat kemiskinan.
3. Pengangguran
Jumlah pengangguran di Indonesia terus meningkat karena minimnya lapangan pekerjaan.
4. Kesenjangan penghasilan
Sangat dibutuhkan peran pemerintah dalam memeratakan penyaluran distribusi pendapatan ke seluruh daerah.
5. Inflasi
Inflasi tinggi berdampak pada melemahnya nilai rupiah.
6. Hutang luar negeri
Hal ini menyebabkan nilai mata uang rupiah terus menurun karena hutang yang terus menumpuk.
Defisit Anggara APBN Indonesia kerap mengalami defisit yang menambah utang ke luar negeri.
8. Ketidakmampuan industrial
Ada banyak industri yang ada di Indonesia akan tetapi belum dapat dikembangkan dengan baik sehingga harus meminta bantuan asing. Akibatnya banyak keuntungan yang dibawa ke luar negeri.
9. Ketidakmampuan mengelola sumber daya manusia
Kualitas sumber daya manusia ternyata masih buruk meskipun jumlah penduduknya banyak, sehingga Indonesia harus mendatangkan ahli dari luar negeri.
10. Penguasaan Iptek yang kurang
Kurangnya penguasaan iptek disebabkan oleh minimnya jumlah tenaga ahil yang ada di Indonesia sehingga kekayaan alam masih sulit diolah menjadi barang yang lebih berharga lagi.
11. Korupsi
Korupsi memang hal yang sangat serius dan dapat menyebabkan program pemerintah menjadi kacau serta penegakan hukum menjadi lemah.
12. Masalah pangan
Harga pangan terus meroket karena pemerintah belum mampu mengendalikan harga pangan sehingga kesejahteraan para petani juga ikut dikesampingkan.
13. Pembangunan yang cenderung tersentralisasi
Hanya kawasan-kawasan tertentu saja yang berkembang menyebabkan daerah lain ditinggalkan begitu saja yang menimbulkan kesenjangan dan pembangunan tak merata.
14. Krisis nilai tukar
Sudah sejak lama krisis nilai tukar rupiah yang dikaitkan dengan dolar AS ini menyebabkan keguncangan perekonomian sehingga Indonesia bergantung pada pinjaman luar negeri pada sektor swasta.
15. Ledakan populasi di Indonesia
Adanya ledakan populasi di Indonesia ini jika dibiarkan terus menerus akan menjadi masalah apabila pendapatan disposibel masyarakat seimbang dengan peningkatan populasi penduduk itu sendiri.
Cara mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi pemerintah
1.) menunda proyek-proyek dan kegiatan pembangunan yang belum mendesak;
2) melakukan realokasi dan menyediakan tambahan anggaran untuk bidang pendidikan dan kesehatan;
3) memperluas penciptaan kerja dan kesempatan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, yang dikaitkan dengan peningkatan produksi bahan makanan serta perbaikan dan pemeliharaan prasarana ekonomi, misalnya jalan dan irigasi, yang dapat memperlancar kegiatan ekonomi; dan
4) memperbaiki sistem distribusi agar berfungsi secara penuh dan efisien yang sekaligus meningkatkan partisipasi peranan pengusaha kecil, menengah, dan koperasi
5) untuk mengurangi dampak negatif dari krisis ekonomi terhadap kelompok penduduk berpendapatan rendah dikembangkannya jaring pengaman sosial yang meliputi program penyediaan kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, mempertahankan tingkat pelayanan pendidikan dalam upaya mempertahankan daya beli kelompok masyarakat berpendapatan rendah.
Landasan Aqidah , Moral & Yuridis Dalam Pengembangan Ekonomi Islam

1. Landasan Akidah
Hubungan ekonomi Islam dengan aqidah Islam tampak jelas dalam banyak hal, seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang ditundukkan (disediakan) untuk kepentingaan manusia. Hubungan ekonomi Islam dengan aqidah dan syari’ah tersebut memungkinkan aktifitas ekonomi dalam islam menjadi ibadah.
Keyakinan islam bahwa pengetahuan manusia bersumber dari Allah Swt sebagai pencipta alam. Dalam perkembangan ekonomi islam landasan aqidah sangatlah penting. Dalam ruang lingkup ekonomi islam sebagai sebuah agama yang mengatur segala aspek kehidupan, tentu saja mempunyai cara untuk berekonomi . Fokus kajian ekonomi islam adalah mempelajari perilaku muamalat masyarakat islam yang mengikuti Al – Qur’an, Qiyas dan Ijma’ dalam memenuhi kebutuhan hidupya untuk mencapai Ridha Allah.
2. Landasan Moral
Al-Qur’an dan hadist Nabi memberikan landasan yang terkait dengan akhlak atau moral dalam ekonomi sebagai berikut:
1. Islam mewajibkan kaum muslimin untuk berusaha mencari kecukupan nafkah hidup untuk dirinya, keluarga, dan mereka yang menjadi tanggung jawabnya dengan kekuatan sendiri dan tidak menggantungkan kepada pertolongan orang lain. Islam mengajarkan pada manusia bahwa makanan seseorang yang terbaik adalah dari jeri payahnya sendiri. Islam juga mengajarkan bahwa orang yang memberi lebih baik dari orang yang meminta atau menerima.
2. Islam mendorong manusia untuk memberikan jasa kepada masyarakat. Hadist riwayat Ahmad, Bukhori, Muslim dan Turmudzi mengatakan bahwa muslim yang menanam tanaman, kemudian sebagian dimakan manusia, binatang merayap atau burung, semuanya itu dipandang sebagai sedekah.
3. Hasil dari rizki yang kita peroleh harus disyukuri, hal ini dinyatakan
Ditinjau dari landasan moral, tujuan ekonomi islam adalah bahwa segala kegiatan manusia didasarkan pada pengabdian kepada Allah, dan dalam rangka melaksanakan tugas dari Allah untuk memakmurkan bumi, maka dalam berekonomi umat islam harus mengutamakan keharmonisan dan pelestarian alam. Kebahagiaan yang dikejar dalam islam bukan semata – mata kebahagiaan di dunia saja. Tetapi juga kebahagiaan di akhirat kelak .
Untuk mempertajam pemahaman kita tentang landasan Ekonomi Islam berikut ini dikemukakan pendapat para pakar tentang definisi ekonomi islam.
1. M. Akram kan : Islam yang bertujuan untuk melakukan kajian tentang kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan SDA atas dasar kerjasama dan partisipasi.
2. Muhammad Abdul Mannan : ekonomi Syari’ah adalah ilmu yang mempelajari masalah – masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh nilai – nilai Islam.
3. M. Umer Capra : Ekonomi islam adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada pada koridor yang mengacu pada ajaran islam tanpa memberikan kebebasan individu atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa ketidakseimbangan lingkungan.
4. Muhammad Najatullah Ash – Shidiqi : ekonomi Syari’ah adalah respons pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada masa tertentu.
5. Kursyid Ahmad : ekonomi islam adalah sebuah usaha sistematis untukmemahami masalah – masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara rasional dalam perspektif islam.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ekonomi syariah / ekonomi islam adalah ilmu yang memppelajari segala perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan tujuan memperoleh falah ( kedamaian & kesejahteraan dunia akhirat).
Ekonomi syari’ah berbicara masalah menjamin berputarnya harta diantara manusia, sehingga manusia dapat memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai hamba Allah untuk mencapai falah di dunia dan akhirat. Dengan demikian, ilmu ekonomi islam harus mempunyai system ekonomi yang dapat memakmurkan bumi , mampu membahagiakan manusia ,baik selama hidup di dunia maupun di akhirat kelak.
3. Landasan yuridis
Dalam ekonomi islam yang menjadi pedoman utama adalah petunjuk Allah Swt berupa wahyu ( Al – Qur’an ), hadist, ijtihad (ra’yu) . Serta melakukan kegiatan ekonomi dengan mengharap & mencari ridha Allah.

Paradigma ekonomi islam :
1. Petunjuk Al – Qur’an , Hadist, Ijma’ dan ijtihad.
2. Ayat – ayat kauniyah yang bertebaran di jagat raya.
3. Penggunaan ayat kauniyah yang hati – hati karena dorongan hawa nafsu.
4. Wujud ekonomi dilaksanakan atas dasar god- Interest ( kehendak Allah). Mengabdi dan mencari ridha Allah Swt.

Sedangkan paradigma ekonomi konvensional :
1. Positivisme , berdasarkan pada pengalaman dan kajian empiris
2. Sekuler, tidak percaya kepada petunjuk Tuhan
3. Kebahagiaan dunia saja yang dikejar
4. Sangat matrealistik
5. Akhirat tidak dijadikan sebagai pertimbangan terhadap apa yang dilakukan
6. Wujud kegiatan ekonomi dilaksanakan atas dasar Self – interest . apa yang dilakukan semata – mata untuk kepentingan pribadi.

Landasan yuridis Islam dalam bidang ekonomi meliputi al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad (ra’yu).
 Al- Qur’an
Al- Qur’an secara terminology berarti Kalamullah yang diturunkan kepada Rasulullah SAW dengan berbahasa arab, yang mengandung mukjizat dan diturunkan secara mutawattir, membacanya mengandung ibadah, terdapat dalam mushaf , dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an- naas merupakan wahyu yang matlu.
Al-Qur’an dalam bidang ekonomi memberikan pedoman yang bersifat garis besar seperti pedoman untuk memperoleh rizki dengan jalan berniaga, melarang melakukan riba, menghambur hamburkan harta, memakan harta milik orang lain, perintah bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sebagainya. Serta Sunnah Rasul yang memberikan penjelasan rinciannya seperti bagaimana cara berniaga yang halal dan yang haram, menerangkan bentuk- bentuk riba yang dilarang, bentuk bentuk pemborosan dan sebagainya.
 Hadis
Seluruh umat islam sepakat bahwa Hadis merupakan salah satu sumber ajaran Islam termasuk dalam ekonomi. Hadis menempati kedudukannya setelah Al-Qur’an atau berada pada posisi kedua setelah Al-Qur’an. Keharusan mengikuti hadis bagi umat Islam sama halnya dengan kewajiban mengikuti Al-Qur’an. Oleh karena itu untuk memahami Islam di bidang ekonomi , dan pengembangan ekonomi Islam yang garis besarnya terdapat dalam Al- Qur’an, pengetahuan dan pemahaman terhadap hadis merupakan suatu kemestian.. Dan untuk mengetahuin sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber ajaran ( ekonomi ) Islam,
Hadis menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua, yaitu sebagai penjelas (bayan) isi kandungan Al-Qur’an. Sebagai bayan Al – Qur’an ada 4 (empat) fungsi hadis terhadap Al-Qur’an yaitu :
1. Sebagai penguat hukum yang ada dalam Al – Qur’an ( bayan taqrir)
2. Menjelaskan apa yang ada dalam Al-Qur’an ( bayan tafsir)
3. Menetapkan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an (bayan tasyri’)
4. Sebagai penghapus suatu hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an (bayan nashk)
Kedudukan hadis terhadap Al-Qur’an adalah sejajar dikarenakan keberadannya sebagai wahyu dan sumber syari’at yang wajib diamalkan. Kesejajaran ini disebabkan hadis sebenarnya merupakan wahyu Allah SWT.
Menurut as – Syatibi , Al- Qur’an didahulukan dari hadis disebabkan 3 (tiga) hal, yaitu :
1. Al-Qur’an bersifat qat’i sedangkan hadis bersifat zanni, oleh karena itu didahulukan Al-Qur’an daripada hadis.
2. Hadis merupakan penjelas Al-Qur’an, dan hadis bersandar kepada yang dijelaskan. Dengan demikian, penjelas tidak perlu ada jika sesuatu yang akan dijelaskan tidak ada.
3. Keterangan yang bersumber dari khabar dan asār Nabi SAW, tentang pertanyaan Nabi SAW kepada mu’az bin jabal ketika Rasulullah SAW akan mengutusnya ke Yaman. Dimana ketika itu dengan tegas Mu’az mengatakan apabila akan menetapkan hukum , dia akan mendahulukan Al-Qur’an, kemudian Sunnah (Hadis) kemudian baru ijtihad.

 Ijtihad
Ijtihad mengembangkan penerapan pedoman pedoman al-Qur’an dan sunnah Rasul dalam berbagai aspek perekonomian yang belum pernah disinggung secara jelas oleh al-Qur’an dan hadist sesuai dengan perkembangan zaman, misalnya masalah bunga bank, asuransi, koperasi, dan sebagainya.
Dasar hukum Ijtihad .
Para fuqahak boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash Al-Quran. Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu motode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat. . Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijtihad antara lain firman Allah SWT. QS. An-Nisa ayat 59
Syarat – syarat Ijtihad :
6. Mengetahui Al-Quran, As-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
7. Mengetahui maqasid syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam
8. Mengetahui turuq al istitinbath Ushul Fiqh, metode menemukan hukum dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
9. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.
Melihat syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, masih obyektifkah kita untuk menerapkan syarat-syarat yang demikian itu, menurut Penulis harus merekonstruksi syarat yang demikian berat karena suatuasi dan kondisi yang berbeda dan berubah.
Tata Cara Berijtihad.
Pada prinsipnya ada tiga macam cara dalam melakukan berijtihad untuk menemukan hukum,yaitu:
1. Dengan cara memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) seperti kemungkinan-kemungkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lainnya.
2. Dengan menggunakan kaidah-kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan ilat hukum.
3. Dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau roh syariah. Untuk ini sangat menentukan kaida-kaidah kulliyah Ushul Fiqh, kaidah-kaidah kulliyah Fiqiyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.

Kesimpulan
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam . Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah SWT agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah SWT untuk dipertanggung jawabkan.
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.
Islam adalah satu-satunya agama yang mengemukakan prinsip-prinsip yang meliputi semua segi kehidupan manusia, tidak hanya membicarakan tentang nilai – nilai ekonomi. Islam telah menanamkan kerangka kerja yang luas berdasarkan kesempatan berekonomi yang sama dan adil bagi penganutnya untuk mengarahkan mereka ke arah kehidupan ekonomi yang seimbang.
Kesulitan ekonomi ( Problematika ekonomi ) merupakan sebuah kelaziman dalam kehidupan ekonomi, apa pun sistem ekonomi yang diaplikasikan. Perbedaan itu muncul ketika masing-masing sistem yang ada berusaha untuk megatasi persoalan dengan konsep dasar dan etika ekonomi yang ada pada sistem tersebut. Hal inilah yang menentukan perbedaan dalam mengambil langkah dan kebijakan demi meraih kemaslahatan dan ksejahteraan hidup.yaitu kehidupan yang jauh dari kemiskinan. Jika melihat fakta yang ada, sejatinya dapat disimpulkn bahwa terjadinya permasalahan ekonomi bukanlah diakibatkan karena faktor kelangkaan barang dan jasa melainkan faktor kesenjangan ekonomi, yaitu tidak meratanya distribusi kekayaan yang ada di masyarakat. Usaha-usaha serius untuk memecahkan problematika ekonomi umat di Indonesia, selain menghadapi masalah keterbatasan sumber infrmasi dan data, serta konsepsi teoritis, juga menemui masalah pragmatis yang lebih bersifat nonekonomis atau tepatnya “Masalah politik” dan “Masalah kelembagaan” diantara kedua bentuk faktor penghambat ini, maka faktor penghambat yang bersifat nonekonomis jauh lebih sulit untuk dipecahkan.
Saran
Sistem Ekonomi Islam merupakan perwujudan dari paradigma Islam. Pengembangan Sistem Ekonomi Islam bukan untuk menyaingi sistem ekonomi kapitalis atau sistem ekonomi sosialis, tetapi lebih ditujukan untuk mencari suatu sistem ekonomi yang mempunyai kelebihan-kelebihan untuk menutupi kekurangan-kekurangan dari sistem ekonomi yang telah ada. Islam diturunkan ke muka bumi ini dimaksudkan untuk mengatur hidup manusia guna mewujudkan ketentraman hidup dan kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat sebagai nilai ekonomi tertinggi. Umat di sini tidak semata-mata umat Muslim tetapi, seluruh umat yang ada di muka bumi. Ketentraman hidup tidak hanya sekedar dapat memnuhi kebutuhan hidup secara limpah ruah di dunia,tetapi juga dapat memenuhi kebutuhan sebagai bekal di akhirat nanti.jadi harus ada keseimbangan dalam memenuhi kebutuhan di dunia maupun di akhirat nanti.

Daftar Pustaka :
– Al-Kaaf, Abdullah Zaky. Ekonomi dalam Prespektif Islam. Tahun 2002, CV Pustaka Setia, Bandung.
– Dr. H. M. Arfin Hamid,SH,MH. Hukum Ekonomi Islam ( Ekonomi Syari’ah ) di Indonesia. Tahun 2007, Ghalia Indonesia,Bogor.
– Ika Yunia Fauzia,Lc,MEI. Dr. Abdul Kadir Riyadi ,Lc, M.S,Sc. Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Tahun 2014, Dia Group, Jakarta.
– Dr. Muhammad Sharif Chandhry. Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar. Tahun 2012, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
– H. Fathurrahman Jamil, Hukum Ekonomi Islam,Sejarah, Teor Dan Konsep, Tahun 2013, Sinar Grafika , Jakarta.
– Isnaini Harahap. Yenni Samri Juliati Nst. Marliyah. Rahmi Syahriza. Hadis – hadis Ekonomi. Cet. I Tahun 2015, Kharisma Putra Utama, Jakarta.
– Ir. H. Adiwarman Azwar Karim, SE,M.B.A. M.A.EP. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Tahun 2004, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
– Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Tahun 2006 ,Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
– M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam. Tahun 2010 ,Alfabeta ,Bandung.
– Muhammad Syafif Chaudry, Sistem Ekonomi Islam,Tahun 2012 ,Kancana , Jakarta.
– Prof. Dr.H. Ahmad Mujahiddin, M.Ag. Ekonomi Islam. Cet. 3 Tahun 2014, Rajawali Pers, Jakarta.
– P3EI UII-BI, Ekonomi Islam, tahun 2008 ,Rajawali Pers, Jakarta.
– Rozalinda. Ekonomi Islam. Tahun 2014 ,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
– Sasono, Adi., dkk. Solusi Islam atas Problematika Umat. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.